Buruk rupa cermin dibelah mungkin pepatah yang sudah terkenal berkonotasi buruk. Pepatah ini biasa ditujukan kepada kita yang tidak mampu menerima kenyataan, kita yang kurang cerdas menyambut ketetapan Tuhan atas diri kita, kita yang tidak pandai bersyukur, kita yang buta akan keindahan dibalik sesuatu yang kita nilai buruk bagi diri kita.
Oh, ma’af jika Anda tidak suka dengan kata “kita”. Tentu Anda, begitu juga dia dan mereka, tidak termasuk dalam “kita” tersebut. Aku menggunakan kata “kita” hanya untuk pemanis, agar lebih enak dibaca dan pas dengan kaidah-kaidah hubungan kemasyarakatan. Tenang saja, paragraf selanjutnya insya Allah aku hanya akan memakai “aku” –tidak akan ada lagi kita, mereka, dia, apalagi Anda.
***
Pepatah di atas masih kuanggap lebih baik jika dibandingkan dengan apa yang pernah aku lakukan. Lalu apa yang lebih buruk dari membelah cerminnya? Dipecah berkeping-keping kemudian pecahannya ditumbuk hingga menjadi bubuk? Bukan juga seperti itu. Aku melakukan sesuatu yang lebih buruk lagi. Akan kuceritakan...
Aku punya sebuah cermin, bentuknya bundar-datar yang kira-kira berdiameter lima-belas sentimeter, sehingga bisa digunakan hanya untuk bagian wajah. Aku sempat lupa memilikinya, tergeletak di sudut kamar, tidak terawat hingga sedikit kusam. Mungkin sekusam wajahku yang kala itu tidak pernah bercermin. Ah, tidak. Untuk wajah yang tidak pernah bercermin kemungkinan besar lebih kusam, lebih buruk.
Benar saja, saat suatu hari secara tidak sengaja aku melihat cermin tersebut dan secara tiba-tiba muncul desakan rasa ingin mendekati, memegang, menghilangkan debu di atasnya, menghapus noda kusamnya, hingga sampai menggunakannya. Aku terkejut mendapati bayangan wajahku di balik cermin, sempat sedetik aku berharap sangat bahwa cermin tersebut pembohong ulung mengungguli Si Kancil yang kecerdikan berbohongnya melegenda itu. Wajahku kacau sekali –gelap terbakar matahari, penuh jerawat, panuan, bahkan terdapat borok menjijikkan seluas koin lima-ratusan di pipi kiriku.
Tapi efek kejut dari semua itu sangat lemah dan tidak berlangsung lama, sehingga aku mematahkan pepatah di atas –aku tidak membelah cerminnya. Tentu bukan karena aku mampu menerima kenyataan, atau cerdas menyambut ketetapan Tuhan. Sungguh bukan karena aku mampu melihat keindahan di balik keburukan, dan yang pasti juga bukan karena aku pandai bersyukur. Itu bisa terjadi semata-mata karena aku nekad “mengakali” kenyataan wajahku. Tidak kubelah cerminnya, tapi kugunakan itu untuk membantu merias wajahku. Kututupi semua yang memberi kesan buruk terhadap wajahku –warna gelap dan panu kudempul dengan bedak tebal, kupoles sedemikian hingga jerawatpun tak terlihat. Borok menjijikkan itu kutimpa dengan dua hansaplast, memang kurang bisa menutupi cacatnya, tapi cukup untuk membuat tampak seperti luka biasa. Semuanya ditutupi, bukan dihilangkan atau diobati.
Sudah terkondisikan seperti itu, aku keluar dari kamar, keluar rumah dan menjalankan aktivitas seperti biasanya. Namun itu tidak lama, aku mulai merasa tidak nyaman dengan borokku yang kurang tertutup secara sempurna. Kupandangi wajahku lagi di cermin sambil memikirkan cara untuk menutup boroknya. Lama-lama aku berpikir, akhirnya kuputuskan untuk mulai memakai topeng. Topeng spesial hasil rekayasa yang selain berfungsi maksimal menutup buruknya wajahku, juga tampak sangat rupawan. Dengan mengenakan topeng tersebut aku bisa meraih penghargaan dan penghormatan yang luar biasa dari orang-orang di sekitarku. Saat itu aku menjadi sangat percaya diri, sehingga cermin di kamarku tidak kugunakan lagi. Karena sudah merasa sangat sempurna, aku malah menggunakan cermin tersebut untuk menunjukkan keburukan-keburukan wajah orang lain pada orang yang bersangkutan. Kemana-mana aku selalu membawa cerminku, ketemu siapa saja kapan saja dimana saja akan kusodorkan cerminku ke wajahnya.
Aku terlena hingga lupa diri. Lupa bahwa wajahku bukanlah wajahku yang sebenarnya, lupa kalau aku hanya memakai topeng. Terlalu banyak mengurusi wajah orang lain, hingga lupa wajahku sendiri. Lupa untuk bercermin kembali.
Di tengah kelelahan menyodor-nyodorkan cermin pada orang lain, aku mulai sadar bahwa aku adalah korban Si Pembohong Ulung yang dulu sempat aku dakwakan kepada cerminku. Tapi ternyata aku keliru, Si Pembohong Ulung itu adalah diriku sendiri.
Cermin datarku adalah hanya
makhluk yang menjunjung tinggi kejujuran,
ia tunjukkan apa yang ada di hadapannya
dengan sewajarnya kebenaran..
Bercerminlah!
Bercerminlah sendiri..
Cirebon, 15 Agustus 2011
0 comments:
Posting Komentar
Tinggalkan jejakmu di sini..