Kemarin, 14 Februari, adalah hari yang banyak orang merayakannya sebagai Hari Kasih Sayang. Hari khusus untuk mengenang kematian seorang Pastur bernama Valentine, yang katanya pernah mati-matian memperjuangkan kemerdekaan makhluk aneh bernama cinta. Dan bukan suatu kebetulan, hari ini adalah hari libur memperingati lahirnya seorang manusia yang paling tahu cinta, tokoh pergerakan yang paling berjasa menyebarkan dan mengajarkan kasih-sayang, sekaligus ilmuwan yang paling paham sebenarnya Siapa Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Ya, Rasulullah Muhammad saw. Shalawat dan salam tercurah padanya.
Namun ironis, di saat umat lain sedang men-special-kan hari-hari seperti ini untuk berkasih-sayang, ditambah kita mengutuk sendiri saudara-saudara muslim yang ikut-ikutan merayakannya justru kita sedang dihadapkan pada masalah pelik tentang isu-isu perbedaan keyakinan yang sampai memunculkan motivasi membunuh. Sebuah laku yang melecehkan cinta, perbuatan yang mencederai kasih-sayang, sungguh tindakan kurang ajar kepada guru yang mengajarkan kita cinta: Muhammad saw.
Membunuh adalah perbuatan yang dibenci Rasulullah. Seorang muslim diperbolehkan membunuh hanya dalam peperangan, dan itupun sangatlah dihindari. Cobalah baca sejarah, dari seluruh peperangan yang pernah dijalani kaum muslimin adakah perang yang dimulai dengan kaum muslimin menyerang lebih dulu? Sepengetahuan saya tidak ada. Perang hanya untuk bertahan, menyerang hanya jika diserang, itu aturannya. Bahkan ada aturan tambahan: seranglah dengan cinta! Pernah dalam suatu perang, salah seorang sahabat berhenti melayangkan pedangnya ke leher lawan gara-gara ia merasa di hatinya ada kemarahan, kemudian ia pun pergi wudlu dan sholat, setelah hatinya tenang ia kembali menemui lawan yang sebelumnya sudah ditawan terlebih dulu. Karena hatinya telah disinari cinta kembali, pada akhirnya lawan diampuni, tak ada pembunuhan.
“Orang bicara cinta
Atas nama Tuhannya
Sambil menyiksa membunuh
Berdasarkan keyakinan mereka..”
(Potongan lirik dari lagu Cinta oleh Swami)
Delapan hari menyambut Maulid Nabi, tepatnya 6 Februari ada sekelompok orang yang mengaku mencintai Nabi melakukan penyerangan terhadap kelompok lain yang dikabarkan berselingkuh atas Nabi. Kedua kelompok yang sama-sama mengaku Islam, dan juga ber-Tuhan sama. Knowledge is power, pepatah barat yang sepertinya cocok ditujukan kepada kelompok penyerang. Agar suatu penyerangan bisa efektif dan efisien, dalam strategi berperang dianjurkan untuk mencari tahu dulu segala sesuatu mengenai pihak yang hendak diserang serta medan tempat berlangsungnya peperangan.
Pertama, harus diketahui bahwa tidak semua pihak yang diserang bersalah menurut dugaan (menduakan Nabi Muhammad saw). Sebenarnya kelompok tersebut terbagi menjadi dua bagian yaitu Qadian dan Lahore. Dimana ajaran pokok Qadian adalah meyakini bahwa Mirza Ghulam Ahmad merupakan: (1) seorang nabi, (2) Isa anak Maryam, (3) Imam Mahdi, dan (4) seorang mujaddid. Sedangkan Lahore menolak tiga ajaran pertama dan hanya meyakini Mirza Ghulam Ahmad sebagai mujaddid. Sebagai muslim yang baik, tentu Anda paham pihak mana yang menduakan Nabi dan juga berarti ajarannya tidak sesuai dengan ajaran Islam. Jadi jangan sampai memukul-rata, usaha yang dilakukan tidak efektif, karena bisa saja keliru menyerang kelompok yang tidak bersalah.
Kedua, medan perang yang mereka masuki adalah wilayah sensitif dan keras. Yaitu wilayah keyakinan/pemahaman, maka tidak bisa dilawan dengan teriakan “Allahu Akbar!” atau pukulan balok kayu. Mau diteriakin sampai tuli sambil dipukulin sampai mati pun kalau orang sudah yakin ya nggak bakal berubah, kalau menurut orang manajemen usaha yang dilakukan tidak efisien, buang-buang tenaga. Maka pakailah senjata ampuh yang sudah diberikan Rasulullah Muhammad: Cinta. Daripada berantem kayanya lebih enak duduk melingkar berbincang mencari solusi sambil minum teh. Kan lebih terasa kehangatan cintanya. Dari dialog penuh kemesraan seperti itu mungkin saja akan bisa dirumuskan inti masalah yang terjadi. Misalnya selisih antara keduanya adalah akibat kelompok penyerang merasa dinodai keyakinannya, sedangkan kelompok yang diserang mengaku berkeyakinan sama dengan kelompok penyerang dan kalaupun berbeda tetap memiliki kebebasan dalam berkeyakinan. Keduanya sama-sama ngotot memperjuangkan keyakinannya, dan terjadilah perselisihan. Nah, maka dari itu perlu diperjelas bahwa penodaan keyakinan itu berarti merusak keyakinan yang sudah ada, sedangkan kebebasan berkeyakinan itu terkait dengan keyakinan yang baru atau berbeda.
Dari perumusan masalah tersebut, maka bisa ditempuh dua jalan damai tanpa kekerasan. Pertama, jika memang benar kelompok yang diserang memiliki keyakinan yang sama dengan kelompok penyerang maka kelompok yang diserang harus bisa membuktikannya, dan pihak penyerang harus segera meminta ma’af karena sudah menyerang bagian dari kelompoknya sendiri. Dan jika kelompok penyerang benar atas dugaannya bahwa kelompok yang diserang telah menodai keyakinan mereka, maka pihak yang diserang harus bersedia mengakui dengan tulus hati bahwa keyakinan mereka berbeda dengan kelompok penyerang dan suka rela membuat wadah baru yang juga berbeda sama-sekali dengan wadah yang dimiliki pihak penyerang. Toh, di negara asalnya keyakinan yang sama dengan yang dianut kelompok yang diserang sudah diakui berbeda dengan keyakinan kelompok penyerang. Dengan begitu mudah-mudahan kelompok penyerang tidak akan merasa terganggu dan menyerang lagi, karena kelompok yang diserang sudah terpisah dari wadah mereka.
Setelah membaca, jadi apa yang akan Anda lakukan jika tetangga/teman/keluarga/saudara sebangsa-setanah air/bahkan Anda sendiri adalah salah seorang dari kelompok yang diserang?
Arrahimuna yarhamu humurrahman, irhamu man fil ardh, yarhamkum man fis sama’.
“Orang-orang yang saling mengasihi itu akan dirahmati oleh Yang Maha Pengasih, karena itu kasih sayangilah yang di muka bumi, niscaya kamu dikasih-sayangi mereka yang di langit.” (HR. Bukhari)
Bandung, 150211
0 comments:
Posting Komentar
Tinggalkan jejakmu di sini..