Tentu telinga Anda sudah akrab dengan pepatah yang sering diucapkan oleh reporter sepakbola atau siapa saja orang yang ingin menggambarkan bahwa sesuatu bisa terjadi seperti apa saja, berputar balik dari apa yang akal sehat kita bisa/biasa terima. Pepatah itu berbunyi “Bola itu bundar”. Bagaimana kalau aku merubah pepatah yang sudah diterima kebenarannya oleh banyak orang tersebut? Aku beralasan bahwa pepatah tersebut tidak sesuai dengan nilai kebenaran yang sudah aku dapat dari pengalaman belajar matematika tentang bentuk dan ruang. Berdasarkan yang pernah aku pelajari pepatah tersebut lebih tepat berbunyi “Bola itu bulat”. Sebab bundar adalah bentuk dua dimensi, lingkaran itu bundar, dalam kehidupan sehari-hari kita bisa mengambil keping CD/DVD sebagai contoh. Sedangkan bulat adalah bentuk tiga dimensi yang memiliki ruang, bola itu bulat, contoh dalam kesehariannya adalah kelereng.
Paling tidak ada tiga kemungkinan yang akan terjadi, pertama perubahan yang aku tawarkan ditolak karena telah melanggar hukum kebenaran umum, mereka tidak mau memikirkan sedikit saja mengenai itu, pokoknya mereka sudah menganggap “bola itu bundar” adalah yang paling benar. Kedua, orang menerima perubahan yang aku tawarkan karena bersedia membuka pikirannya untuk mengkaji ulang tentang bagaimana itu bulat dan seperti apa itu bundar. Dan yang ketiga, orang acuh saja, tak peduli mana yang benar, pokoknya ngikut aja mana yang paling banyak diakui oleh umum.
Itu baru masalah yang dihadapkan pada dua variabel perbedaan, bulat dan bundar, bagaimana kalau kita dihadapkan dengan lebih banyak variabel perbedaan? Entah kenapa, jika dihadapkan padaku seseorang yang berprilaku ataupun berkata-kata yang “aneh” –berbeda dengan kaidah umum yang aku pahami, tidak berkesesuaian dengan potongan-potongan puzzle akal sehatku, bahkan mengacaukan sistem keteraturan nilai kebenaran dalam diriku– aku justru merasa tertantang. Apakah suatu keharusan untuk langsung menolak pemikiran seseorang yang kita anggap tidak sesuai dengan nilai kebenaran yang kita miliki? Tidak, menolak mentah-mentah suatu pemikiran baru hanya akan menghentikan proses pengembaraan berpikirku dan mempertebal tabir penghalang kebenaran yang mungkin saja tersembunyi di dalamnya. Hal seperti itu justru mendorongku untuk lebih cenderung memikirkan penyebab dan maksud di balik “keanehan”-nya. Aku pikirkan terus, meskipun butuh waktu yang lama, bukankah belajar memang butuh waktu yang lama? Dan jika ada masalah yang tak kutemukan juga jawabannya, maka aku akan tanyakan langsung kepada pihak yang lebih berwenang (bisa orang yang bersangkutan atau ‘ulama).
Cobalah saling mendengarkan dengan yang lain, sehingga pemahaman kita akan lebih baik dan lengkap. Karena sebenarnya, kebenaran kita berkemungkinan salah, dan kesalahan orang lain berkemungkinan benar. Memang hanya ada satu kebenaran mutlak di dunia ini, namun manusia itu makhluk unik yang diberi kemampuan untuk memperoleh standar kebenarannya sendiri, sehingga nilai sebuah kebenaran itu bersifat relatif. Dasar dari sebuah kebenaran akan sesuatu adalah keyakinan/kepercayaan masing-masing individu akan hal yang dianggapnya benar tersebut. Sedangkan keyakinan timbul dari proses berpikir, penghayatan, perenungan, dan bermuara pada sebuah penafsiran yang didasarkan atas data-data dari berbagai pengalaman belajar pribadi. Maka inilah kunci sukses dakwah Kanjeng Nabi Muhammad yang sedikit luntur dari ingatan kita, yaitu dakwah melalui cara-cara halus-lembut yang mampu menyentuh ruang-ruang sensitif dalam hati dan pikiran, menstimulan perenungan, hingga sampai melahirkan keyakinan seseorang atas kebenaran yang disampaikannya tanpa ada paksaan.
Siapapun yang telah tertutup mata hatinya –antara lain karena merasa diri paling pintar dan paling benar– tidak akan mampu melihat pemahaman lain yang berbeda, yang tersisa adalah arogansi (takabbur) dan penolakan terhadap yang lain. Ketika arogansi dimulai, ketika mendengarkan orang lain diakhiri, ketika belajar dihentikan, maka kebodohan dimulai, suatu keadaan yang sangat berbahaya bagi yang bersangkutan dan seluruh umat manusia. Kebodohan adalah bahaya tersembunyi yang ada dalam setiap orang, mengatasinya adalah dengan terus belajar dan terus mendengarkan orang lain. Seperti itulah yang disebut oleh Gus Mus sebagai proses belajar tiada akhir. Apik tenan yo rek, mantap jaya! Semoga kita terlindungi dari bahaya yang satu ini. Amin…
Untuk memahami hal-hal baru yang merusak tata nilai kebenaran dalam diri kita, cobalah ingat pepatah bahwa “bola itu bulat” (kata orang matematikanya “bukan bundar” jeh! Hehe..), tak terhitung sudut yang bisa kita gunakan untuk menarik garis dari kulit ke titik pusatnya. Selamat menikmati…
WaaLlahu’alam bishshawab.
6 comments:
mana deskripsi pernyataannya?he3
postingan berikutnya, boy!!
mudah2an..
"Kebenaran tu sbenarnya tdk relatif, hanya ada satu kebenaran mutlak: ALLAH SWT.
Dan bila ada yg mengatakan sperti itu, maka sbenarnya dia hanya ingin membenarkan perbuatannya sndri demi kepentingan pribadi..
Sampaikanlah kebenaran dengan kebenaran pula, jgn dgn brbohong atau mnjnjikan sswtu, itu akan menodai kebenaran yg ingin kita smpaikan.. Wallhu'alam, trimakasih."
(quote from someone..._
yo, tidak salah..
thx. (:
oya, yg ngequote itu Sesdika..
lupa kasih nama, maaf lupa.. :p
dan sy sependapat dg quote tsb...
ok! siiip..
brati emg itu lah nlai kbenarn yg ada d kyakinan mba'.
Posting Komentar
Tinggalkan jejakmu di sini..