Aku adalah salah satu wong cilik dari masih ribuannya wong cilik-wong cilik yang ada di negeri ini. Namun, aku cilik dalam artian yang sebenar-benarnya cilik. Bagaimana tidak, saat menulis ini saja aku baru lulus SMA, masih belum tahu apa-apa yang merupakan ciri dari wong cilik. Plus belum jelas nasibnya akan melanjutkan pendidikan sebagai mahasiswa kemana, bukan pelajar juga bekerja pun tidak. Atau kasarnya, Anda bisa menyebutku pengangguran, salah satu anggota lembaga wong cilik di negeri ini. Orang yang dianggap 'membebani' negara karena hidupnya dibiayai negara (secara tidak langsung) serta tidak memberi kontribusi apapun kepada negara. Tapi karena nganggur jua lah aku bisa menghasilkan tulisan ini, setidaknya kalo emang aku belum mampu memberi sesuatu kepada negara tapi aku masih bisa berbagi dengan Anda sebagai warga negara.
Wong cilik tentu tak mesti berpikir yang cilik-cilik saja, boleh lah kami memikirkan hal-hal yang besar. Lha wong negara kita kan katanya negara demokrasi, ‘berpikir’ tentu diberi ruang yang seluas-luasnya. Jangankan berpikir, yang negara belum tentu tahu apa sebenarnya yang kita pikirkan, berpakaian yang katon jelas saja negara gak mengekang kita. Anda mau berjilbab atau berjubah rapat silahkan, mau 'telanjang' di jalanan juga silahkan; paling minimalnya dicemooh, maksimal ya dianggap gak waras. Jadi aku sebagai wong cilik boleh donk, so’ memikirkan hal yang besar, negara misalnya. Tentu tidak sampai mendalam, kulitnya saja cukup.
Yang aku pikirkan sekarang cuma tentang keadaan negara kita yang semakin rumit saja, tidak memikir mengakar apa sebab-musababnya. Yang aku tau ya cuma semakin terpuruknya negara ini, dari fisik sampai mentalnya. Alam yang yang pernah dikatakan sebagai bocoran surga, kini porak poranda sampai penduduknya saja bingung bagaimana bocoran surga tapi “atmosfer”nya bisa jadi menghembuskan hawa 'neraka'? Bangsanya yang terkenal dengan keramah-tamahan menjadi bangsa yang jauh dari kepedulian, bangsa yang santun menjadi bangsa yang lupa seperti apa itu kelembutan, bangsa yang andap asor menjadi bangsa yang tak kenal lagi bumi, dan akhlak mulia lain yang bangsa ini rubah menjadi kesebalikannya. Tapi aku tak memaksudnya kepada seluruh bangsa ini, aku yakin masih ada sebagian bangsa ini yang konsisten berakhlak baik. Amin.
Memikirkan keadaan negara kita yang seperti itu, aku jadi kepingin mendirikan sebuah 'negara' sendiri. Aku ciptakan sendiri komponen-komponen penting yang menunjang agar suatu negara mampu berjalan dengan baik, tidak berjalan seperti orang teler. Ya, 'sendiri'! Tanpa bantuan manusia lain!
'Sebagai awalan, aku buat peta kewilayahannya, apa artinya sebuah negara tanpa wilayah. Kuletakkan wilayahnya di tempat yang paling strategis dengan luas daratan dan laut yang seimbang. Tanahnya subur, apapun bisa tumbuh di sini; tidak sekedar pohon atau tanaman, hewan, manusia, tapi gedung-gedung perusahaan juga bisa tumbuh segar. Hutan, persawahan, sumber-sumber mineral, semua tersedia. Lautnya indah, baik untuk dipandang maupun dieksplorasi, tetap indah. Dan tentunya kubuat berdaulat penuh, secara de facto sekaligus de jure, ketahanan negara yang kuat.'
'Lalu rakyatnya, komponen dasar yang menopang seluruh beban negara, yang akan memanfaatkan dan mengolah SDA negaranya. Kubuat rakyatnya memiliki fisik dan mental yang kuat, disiplin tinggi, pekerja keras, cerdas, tidak hanya itu, mereka juga memiliki jiwa sosial yang tinggi, agamis, santun, peduli, tenggang rasa, berbudi luhur, dan seterusnya akhlak-akhlak mulia. Pokoknya kuciptakan sebaik-baik rakyat, tapi tetap manusiawi.'
'Terakhir pemerintahan, dan yang terpenting pemimpinnya.' Tentu saja aku tidak akan memimpin sendiri 'negara' yang kuciptakan ini. Aku tak pernah punya niat menjadi seorang pemimpin negara. Pertanggungan jawabnya sungguh berat, menyangkut ribuan manusia lain yang dipimpin. Bahkan Sayyidina Umar bin Khattab yang begitu tangguh dan perkasa menangis begitu Khalifah Abu Bakar Shiddiq menunjuknya untuk menggantikan sebagai khalifah. Tapi setelah diungkapkan alasan-alasannya, salah satunya dikatakan bahwa ada dua orang yang bisa terjerumus ke dalam neraka dalam menanggapi sebuah kepemimpinan. Pertama, orang yang mampu dan diberi kepercayaan untuk memegangnya tapi menolak karena lari dari tanggung jawab. Kedua, orang yang ke-PD-an bermodal nekat untuk mengmbilnya, padahal ia tahu ada orang yang lebih mampu. Akhirnya Sayyidina Umar bin Khattab menyanggupinya, itupun masih meminta agar Abu Bakar memusyawarahkannya dan mohon persetujuan tokoh-tokoh lain yang mewakili rakyat (Ahlul-halli waleaqdi). Nah sementara aku, mimpin awak dewek bae sempoyongan. Kemudian aku juga jadi heran, kenapa sekarang di Indonesia begitu banyak orang yang mau, bahkan kedereng-dereng mengorbankan harta & tenaga menawarkan diri, untuk menjadi pemimpin?
'Maka lebih baik kuciptakan juga pemimpinnya. Pemimpin yang benar-benar, bukan bohong-bohongan, memiliki kemampuan. Kusematkan kriteria-kriterianya: kebersihan hati, kecerdasan pikiran, dan keberanian mental. Juga sifat angon, mengayomi. Seorang pemimpin tentu harus bisa mengayomi orang-orang yang dipimpinnya.' Selesai sudah 'negara' ciptaanku. Komponen-komponen lain biar 'mereka' urus sendiri, kan sudah saya rancang untuk mampu berjalan sendiri.
Diantara pembaca mungkin ada yang berpikir atau ngglendeng dalam hati, 'Lha ini orang lagaknya udah kaya Tuhan aja, nyiptain negara beserta isi-isinya bahkan mental negaranya itu sendiri!' Tentu saja tidak! Aku mendirikan 'negara' tersebut hanya dalam ruang pikiran aku sendiri, disebut 'negara' ghaib pun sangat salah karena 'negara' ini tak memiliki wujud, apalagi bentuk. Sedangkan Tuhan sangat-sangat sungguh benar-benar berkuasa sekali untuk menjadikan negara tersebut menjadi hidup dalam nyata. Seperti yang kemudian 'negara' ciptaanku pinta. 'Mereka' menginginkan sesuatu yang aku sama sekali tak mampu. 'Kami ingin menjelma menjadi Indonesia!' begitu teriak mereka. Aku hanya mampu berkata, 'Semoga ALLAH swt. mendengar teriakkan kalian dan bersedia mengabulkannya.' Amin. ©
Sya’ban 1430, 'Al - Majnun'.
Yang aku pikirkan sekarang cuma tentang keadaan negara kita yang semakin rumit saja, tidak memikir mengakar apa sebab-musababnya. Yang aku tau ya cuma semakin terpuruknya negara ini, dari fisik sampai mentalnya. Alam yang yang pernah dikatakan sebagai bocoran surga, kini porak poranda sampai penduduknya saja bingung bagaimana bocoran surga tapi “atmosfer”nya bisa jadi menghembuskan hawa 'neraka'? Bangsanya yang terkenal dengan keramah-tamahan menjadi bangsa yang jauh dari kepedulian, bangsa yang santun menjadi bangsa yang lupa seperti apa itu kelembutan, bangsa yang andap asor menjadi bangsa yang tak kenal lagi bumi, dan akhlak mulia lain yang bangsa ini rubah menjadi kesebalikannya. Tapi aku tak memaksudnya kepada seluruh bangsa ini, aku yakin masih ada sebagian bangsa ini yang konsisten berakhlak baik. Amin.
Memikirkan keadaan negara kita yang seperti itu, aku jadi kepingin mendirikan sebuah 'negara' sendiri. Aku ciptakan sendiri komponen-komponen penting yang menunjang agar suatu negara mampu berjalan dengan baik, tidak berjalan seperti orang teler. Ya, 'sendiri'! Tanpa bantuan manusia lain!
'Sebagai awalan, aku buat peta kewilayahannya, apa artinya sebuah negara tanpa wilayah. Kuletakkan wilayahnya di tempat yang paling strategis dengan luas daratan dan laut yang seimbang. Tanahnya subur, apapun bisa tumbuh di sini; tidak sekedar pohon atau tanaman, hewan, manusia, tapi gedung-gedung perusahaan juga bisa tumbuh segar. Hutan, persawahan, sumber-sumber mineral, semua tersedia. Lautnya indah, baik untuk dipandang maupun dieksplorasi, tetap indah. Dan tentunya kubuat berdaulat penuh, secara de facto sekaligus de jure, ketahanan negara yang kuat.'
'Lalu rakyatnya, komponen dasar yang menopang seluruh beban negara, yang akan memanfaatkan dan mengolah SDA negaranya. Kubuat rakyatnya memiliki fisik dan mental yang kuat, disiplin tinggi, pekerja keras, cerdas, tidak hanya itu, mereka juga memiliki jiwa sosial yang tinggi, agamis, santun, peduli, tenggang rasa, berbudi luhur, dan seterusnya akhlak-akhlak mulia. Pokoknya kuciptakan sebaik-baik rakyat, tapi tetap manusiawi.'
'Terakhir pemerintahan, dan yang terpenting pemimpinnya.' Tentu saja aku tidak akan memimpin sendiri 'negara' yang kuciptakan ini. Aku tak pernah punya niat menjadi seorang pemimpin negara. Pertanggungan jawabnya sungguh berat, menyangkut ribuan manusia lain yang dipimpin. Bahkan Sayyidina Umar bin Khattab yang begitu tangguh dan perkasa menangis begitu Khalifah Abu Bakar Shiddiq menunjuknya untuk menggantikan sebagai khalifah. Tapi setelah diungkapkan alasan-alasannya, salah satunya dikatakan bahwa ada dua orang yang bisa terjerumus ke dalam neraka dalam menanggapi sebuah kepemimpinan. Pertama, orang yang mampu dan diberi kepercayaan untuk memegangnya tapi menolak karena lari dari tanggung jawab. Kedua, orang yang ke-PD-an bermodal nekat untuk mengmbilnya, padahal ia tahu ada orang yang lebih mampu. Akhirnya Sayyidina Umar bin Khattab menyanggupinya, itupun masih meminta agar Abu Bakar memusyawarahkannya dan mohon persetujuan tokoh-tokoh lain yang mewakili rakyat (Ahlul-halli waleaqdi). Nah sementara aku, mimpin awak dewek bae sempoyongan. Kemudian aku juga jadi heran, kenapa sekarang di Indonesia begitu banyak orang yang mau, bahkan kedereng-dereng mengorbankan harta & tenaga menawarkan diri, untuk menjadi pemimpin?
'Maka lebih baik kuciptakan juga pemimpinnya. Pemimpin yang benar-benar, bukan bohong-bohongan, memiliki kemampuan. Kusematkan kriteria-kriterianya: kebersihan hati, kecerdasan pikiran, dan keberanian mental. Juga sifat angon, mengayomi. Seorang pemimpin tentu harus bisa mengayomi orang-orang yang dipimpinnya.' Selesai sudah 'negara' ciptaanku. Komponen-komponen lain biar 'mereka' urus sendiri, kan sudah saya rancang untuk mampu berjalan sendiri.
Diantara pembaca mungkin ada yang berpikir atau ngglendeng dalam hati, 'Lha ini orang lagaknya udah kaya Tuhan aja, nyiptain negara beserta isi-isinya bahkan mental negaranya itu sendiri!' Tentu saja tidak! Aku mendirikan 'negara' tersebut hanya dalam ruang pikiran aku sendiri, disebut 'negara' ghaib pun sangat salah karena 'negara' ini tak memiliki wujud, apalagi bentuk. Sedangkan Tuhan sangat-sangat sungguh benar-benar berkuasa sekali untuk menjadikan negara tersebut menjadi hidup dalam nyata. Seperti yang kemudian 'negara' ciptaanku pinta. 'Mereka' menginginkan sesuatu yang aku sama sekali tak mampu. 'Kami ingin menjelma menjadi Indonesia!' begitu teriak mereka. Aku hanya mampu berkata, 'Semoga ALLAH swt. mendengar teriakkan kalian dan bersedia mengabulkannya.' Amin. ©
Sya’ban 1430, 'Al - Majnun'.
3 comments:
Negara yang pemimpinnya mengemis-ngemis untuk suara..
Negara yang parlemennya baku hantam untuk sebuah kursi..
Negara yang rakyatnya terus menerus jadi korban..
Negara yang aku sendiri tak habis pikir menyebut ini sebuah negara..
Semoga Allah memberikan hidayah pada pemimpin kita agar menegakkan islam untuk negara indonesia ini..
Bukan negara mayoritas islam yang dipaksa tunduk dalam aturan orang kafir!
Enak juga ya kalo bisa bikin negara sendiri
ada wilayah
ada rakyat
ada pemimpin
tapi gimana cara ngaturnya ya?
Kalo berkaca dari Rasulullah apakah dari wilayah dahulu?
[atmosfer]nya bisa jadi menghembuskan hawa 'neraka'>> global warming?!!
Posting Komentar
Tinggalkan jejakmu di sini..