19 Desember 2011

HAM: Sebuah Logika Terbalik*

*Disampaikan saat presentasi mata-kuliah PLSBT (Pendidikan Lingkungan Sosial Budaya dan Teknologi)


BAB III
PEMBAHASAN


1.    Logika Terbalik Perumusan HAM
Di bab sebelumnya telah disebutkan secara rinci mengenai latar belakang lahirnya ide hak asasi. Ide HAM lahir dari pemikiran bangsa barat di beberapa negara, seperti Yunani, Inggris, Amerika, dan Perancis. Jika diperhatikan, dari data sejarah yang menyatakan latar belakang munculnya HAM di negara-negara tersebut ternyata kesemuanya membentuk pola yang sama. Pola tersebut tampak jelas menunjukkan bahwa HAM muncul akibat perampasan hak-hak rakyat oleh pemimpinnya yang dzalim.

Kesewenang-wenangan para pemimpin itu lah yang mendorong bangsa-bangsa tersebut untuk melawan, memberontak, mencoba merebut kembali hak-haknya yang telah dirampas. Perjuangan melawan pemimpin dzalim tersebut tidak hanya dilakukan melalui usaha-usaha yang bersifat fisikal, seperti peperangan. Muncul juga perjuangan dari para pemikir, seperti John Locke (Amerika) dan Lafayette (Perancis), yang menyadari akan berharganya kehidupan dan kebebasan hidup saat orang-orang di sekitarnya dikekang oleh pemimpinnya.

Melihat hak-hak rakyat yang dirampas oleh pemimpinnya, para pemikir ini kemudian merumuskan aturan atau hukum  tentang suatu hak dasar yang mutlak dimiliki oleh setiap manusia sejak ia dilahirkan, itu lah yang sampai saat ini dikenal sebagai hak asasi. Bagi siapa saja yang merampas hak tersebut dari seorang manusia, ia akan dihukum karena telah melakukan semacam kejahatan, pelanggaran hak namanya. Dengan bersenjatakan pemikiran tentang HAM ini, perjuangan rakyat semakin kuat dan pemimpin-pemimpin dzalim mampu ditumbangkan.

Dari situ, ide tentang HAM ini tampak sangat brilian hingga hari ini. Sampai kami menemukan semacam kekeliruan mengenai ide HAM ini. Yang kemudian kekeliruan pemikiran ini kami sebut sebagai logika terbalik. Sebenarnya tampak jelas bahwa kejahatan yang terjadi di masa lampau, yang melatar-belakangi munculnya ide tentang HAM, adalah pelanggaran kewajiban oleh para pemimpin untuk melindungi hak hidup dan hak berpenghidupan rakyatnya. Maka yang muncul seharusnya adalah ide untuk merumuskan hukum yang mengatur tentang kewajiban-kewajiban macam itu, kita bisa menamainya kewajiban asasi manusia (KAM). Dan bagi siapa saja yang merampas hak seorang manusia, ia akan dihukum karena telah melanggar kewajibannya. Seperti apa yang Tuhan ajarkan melalui kisah manusia pertama, Adam-Hawa, bahwa pelanggar kewajiban lah yang diberi hukuman.

2.    Efek Psikologis Logika Terbalik HAM
Sekilas mungkin masalah yang kami angkat ini tampak sepele, ini hanya masalah perbedaan istilah. Tentu saja tidak sesederhana itu, jika saja kita peka terhadap efek yang timbul akibat logika terbalik ini. Efeknya memang sedikit tak kasat mata karena bersifat psikologis, tapi secara tidak langsung efek itu tampak jelas dari perilaku masyarakat kita sekarang yang sudah terlalu memandang HAM secara sepihak.

Sudah menjadi sifat dasar manusia yang cenderung mementingkan kepentingan pribadinya di atas kepentingan orang lain. Tapi sebagai manusia yang ber-Tuhan, melalui agama kita diharuskan untuk mampu me-manage sifat dasar ini. Selain itu, sebagai makhluk sosial dan demi terciptanya kemesraan bermasyarakat tentu kita harus mampu menekan sifat ini. Sebaliknya, yang terjadi hari ini HAM perlahan secara tidak disadari oleh kita justru telah membentuk masyarakat yang lebih suka menuntut.

Kepala kita melulu diisi tentang hak, secara psikologis tentu akan membentuk kita yang lebih memperhatikan kepentingan diri sendiri daripada kepentingan orang lain. Jika dalam melaksanakan hak, kita tidak memperhatikan hak orang lain, maka yang terjadi adalah benturan hak atau kepentingan dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara seperti yang terjadi dalam beberapa kasus di bab sebelumnya.

1.      Hukuman Mati
Seorang pembunuh bisa lepas dari hukuman setimpal, hukuman mati, akibat logika terbalik mengenai hak asasi. Hukum yang ada saat ini sudah dimasuki ide tentang HAM sehingga terkesan lemah dengan menyatakan bahwa pelaku pembunuhan tidak harus dihukum mati. Hukum saat ini mempertimbangkan hal tersebut dengan dasar HAM, bahwa setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.
Hukum seolah-olah melindungi kehidupan, tapi menurut kami hal ini justru tidak menghargai kehidupan. Hukum melupakan hak hidup korban yang telah dirampas pelaku. Berpikir lebih jauh, ketidak-tegasan hukum tersebut tidak akan menimbulkan efek jera bagi pelaku ataupun memberi rasa takut bagi “calon pembunuh”, sehingga membuka peluang terjadinya pembunuhan semakin banyak. Artinya, hukum lebih memilih hak hidup satu orang pembunuh daripada melindungi ratusan atau bahkan ribuan hak hidup lainnya.

2.      Remisi
Lagi-lagi hukum kehilangan ketegasannya akibat dimasuki ide HAM. Pelaku kejahatan bisa memperoleh potongan hukuman atas dasar pertimbangan hak asasi, tanpa mempertimbangkan akibat kejahatan yang telah dilakukannya. Misalnya, pelaku korupsi hanya dengan alasan berkelakuan baik, ia diberi potongan masa tahanan. Padahal jika kita melihat efek dari kejahatannya, ia lebih pantas untuk menerima hukuman yang lebih dari sekedar ditahan di balik jeruji besi, bukan sebaliknya dikurangi. Ia telah merugikan negara, menyengsarakan banyak orang, atau lebih jauh lagi dengan tindakan korupnya tersebut ia telah membunuh rakyat-rakyat kecil secara perlahan.
Selain itu, untuk memperoleh remisi (ampunan) seharusnya diperlukan persetujuan pihak korban terlebih dahulu. Hal ini penting karena bagaimanapun korban adalah pihak yang secara langsung paling dirugikan oleh kejahatan pelaku.

3.      “Rok Mini”
Kasus tentang “rok mini” yang beberapa minggu lalu ramai dibicarakan adalah contoh lain dari seseorang melogikakan HAM secara terbalik. Mencuatnya kasus tersebut berawal dari pemerkosaan seorang perempuan di angkutan umum. Dan menurut beberapa pihak kejadian tersebut dikarenakan saat itu korban menggunakan rok mini. Tapi kaum wanita, diwakili Komisioner Komnas Wanita, tidak menerima pendapat tersebut. Menurut beliau kejadian tersebut lebih diakibatkan oleh minimnya tingkat keamanan di tempat umum, dalam hal ini pemerintah lah yang bertanggung-jawab. Atau menurut pihak lain berpakaian adalah hak asasinya, ia bebas berpakaian seperti apapun. Untuk kasus pemerkosaan, kaum lelaki saja yang tidak mampu mengekang hawa-nafsunya.

Motif pelaku untuk memperkosa memang bermacam-macam, tapi menurut kami yang paling bertanggung-jawab atas keselamatan seorang wanita adalah dirinya sendiri. Dan rok mini adalah semacam pintu terbuka yang memberi celah pada benteng keselamatan pemakainya. Wanita tidak seharusnya menuntut keselamatan dari pihak lain, jika ia tidak mau menjaga keselamatannya sendiri. Selain itu, berpakaian juga memang kami akui sebagai salah satu hak kebebasan setiap orang. Tapi, kita harus sadar bahwa kebebasan kita berpakaian seharusnya tidak mengganggu kebebasan orang lain dalam menjaga kesehatan moralnya.

4.      Gay, Lesbian, Biseksual dan Transgender
Kita tahu bahwa sudah menjadi kodrat manusia diciptakan Tuhan dengan dibedakan menjadi dua jenis, pria dan wanita. Tuhan juga menganugerahi perasaan suci, cinta, dalam diri keduanya sehingga memiliki ketertarikan satu sama lain. Dengan memiliki ketertarikan antara pria dan wanita inilah manusia dapat mempertahankan keberlanjutan hidupnya. Karena memang secara biologis, hanya melalui hubungan pria dan wanita lah manusia bisa memiliki keturunan.

Maka aneh sekali mereka yang mengatakan bahwa perilaku menyukai dengan hasrat seksual terhadap sesama jenis merupakan hak asasi manusia. Justru pelaku penyuka sesama jenis telah membuang haknya sebagai manusia untuk memiliki keturunan. Atau dengan sudut pandang yang berbeda, ia telah melanggar kewajiban sebagai manusia untuk menjaga rasnya dari kepunahan. 

Kaum gay, lesbian dan sejenisnya memang tidak perlu didiskriminasikan dalam lingkungan masyarakat, karena mereka juga manusia. Mereka adalah pemilik perilaku menyimpang yang perlu dibina dan dibimbing hingga mampu mengembalikan kesejatian dirinya, menemukan kembali kodratnya sebagai pria dan wanita. Membiarkan mereka seperti itu, bahkan memberi wadah kepada mereka untuk mengekspresikan penyimpangannya adalah sebuah kesalahan fatal. Itu sama saja dengan membunuh keturunan mereka.

0 comments:

Posting Komentar

Tinggalkan jejakmu di sini..

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More