20 Desember 2011

Galau Balau

Katanya salah satu orang terbrengsek di dunia ialah yang ngajarin orang lain nglakuin sesuatu, tapi ia sendiri gak nglakuin. Dengan dasar idiom tersebut, brengsek jugakah ia yang nglakuin sesuatu, tapi ngajarin orang lain untuk tidak nglakuin hal serupa?


Sepertinya brengsek juga, keduanya menggambarkan hal yang sama: kemunafikan. Perkara mewujudkan kesatuan kata dan perbuatan ini memang sulit. Aku yang sekarang sedang menempuh pendidikan berlatar belakang keguruan sudah sejak beberapa hari lalu mengalami kegalauan mengenai suatu jenis kemunafikan.

Sejenis kemunafikan yang mungkin akan sangat berbahaya bagi kelangsungan rasa aman dan nyaman psikologisku sebagai seorang guru kelak. Tidak hanya itu, mungkin ini akan begitu merugikan mereka yang menitipkan anak-anaknya kepadaku untuk dididik. Masih ada lagi, aku yaqin kemunafikan ini juga akan merusak mental dan moral anak-anak yang akan kudidik. Anak-anak yang kudidik ini kemudian akan terjun ke masyarakat, mungkin masuk dalam pemerintahan, yang pada akhirnya gara-gara sejenis kemunafikan yang kuperbuat mungkin saja negara ini akan hancur perlahan. Ini akan benar-benar menuju pada kegalau-balauan yang nyata, kita akan kacau beramai-ramai satu bangsa satu tanah air.

Kegalauan itu mulai mencabik-cabikku saat muncul pertanyaan, pertanyaan dariku untukku sendiri: aku ini calon guru, bagaimana mungkin aku nyontek? Bagaimana kelak akan menasehati murid-murid untuk tidak nyontek, sedangkan dulu saat sekolah/kuliah gurunya ini gemar nyontek juga? Terkutuklah Si Guru! Tapi sepertinya sama sekali tak pantas ia disebut guru. Terkutuklah Si Brengsek Pencontek Yang [akan] Berprofesi Sebagai Guru ini! Terasa lebih tepat. Atau kalaupun aku tidak ditakdirkan menjadi seorang guru, pastinya aku akan menjadi seorang ayah dari anak-anakku. Bagaimana kelak akan menasehati mereka untuk tidak nyontek kalau ternyata ayahnya ini pencontek ulung? Ah, terkutuklah aku!

Kalau diteruskan, calon guru yang suka nyontek macam aku ini juga bisa membusukkan nafas seni kebudayaan, membunuh kreativitas anak-anak didiknya yang sebagai calon seniman. Lihat itu, tontonan-tontonan musik yang sedang marak di tivi: monoton. Tak berwarna-warni, satu pemusik dengan pemusik lainnya menawarkan warna musik yang sama, atau ada pula yang cuma bisa membawakan lagu orang lain. Apalagi itu pemusik yang biasanya terdiri dari beberapa cowok/cewek sekedar bermodal tarian plus mulut komat-kamit lip-sync, lebih buruknya: katanya pada tarian dan lagu-lagu mereka sering ditemukan kemiripan dengan pemusik dari bangsa lain. Masa urusan tari dan nyanyi pun kita nyontek? Aduh, galaulah kesenian kita!

Ya, itu bukan salah mereka. Generasi kita adalah generasi korban. Korban dari sistem pendidikan yang menuntun kita untuk jadi seperti itu. Korban dari mata pelajaran Ketrampilan Tangan dan Kesenian (KTK) yang hanya bisa mengajarkan kita menggambar pemandangan dua gunung disertai lingkaran matahari di atasnya dan petak-petak sawah di bawahnya, gambar itu terus dicontekkan dari generasi ke generasi. Korban dari orang-orang berprofesi guru yang tidak memiliki kekuatan moral untuk menasehati kita agar tidak usah nyontek saat ujian, mungkin dikarenakan si guru juga bisa berprofesi guru hasil dari nyontek.

Kebetulan kesadaran ini muncul sebelum dilaksanakannya “ibadah” rutin Ujian Tengah Semester (UTS), hingga aku bisa langsung menguji-coba konsistensi kesehatan moralku sendiri. Setelah menemukan kesadaran mengenai buruknya nyontek, mampukah aku menahan diri untuk tidak melakukannya di sini (UTS) dan seterusnya di manapun kapanpun?

Empat mata kuliah yang di-UTS-kan berhasil aku mainkan dengan sehat dan bersih secara pribadi, disebabkan oleh suatu hal yang tidak ingin aku sebutkan, takut riya’. Takut riya’ bahwa memang aku sudah mempersiapkan diri menghadapi UTS dengan belajar seoptimal yang aku mampu. Tidak ingin aku sampaikan pula bahwa sampai-sampai aku sudah membentuk tim belajar untuk UTS ini. Secara pribadi aku sudah berusaha sekuat daya untuk menghindari nyontek saat ujian. Bahkan sebenarnya sampai pada tugas harian pun aku coba memurnikannya dengan usahaku sendiri. Salah-satunya tugas pembuatan makalah berkaitan dengan masalah sosial, aku dan kelompokku mengangkat masalah yang belum pernah diangkat orang lain. Sehingga mau tidak mau harus menulis sendiri bab pembahasannya, tidak seperti biasanya yang cuma hasil menekan tombol CTRL+C dan CTRL+V. Namun secara sosial aku masih buruk. Di salah-satu mata kuliah aku sudah menyakiti dan mengotori temanku sendiri, teman yang saat ujian duduk di sebelahku, ia banyak bertanya mengenai soal yang diberikan dosen. Dan karena tidak mampu mengacuhkannya, ya aku jawab.

Kalau melihat Formulir Rencana Studi (FRS)-ku semester lima ini terdaftar delapan mata-kuliah yang kukontrak, maka masih tersisa empat mata-kuliah lagi. Satu diujikan take-home, satu diganti dengan tugas pembuatan makalah, satu tidak di-UTS-kan sama sekali, dan yang terakhir diuji-tuliskan seperti empat mata-kuliah di awal kusebut. Mata-kuliah terakhir inilah yang membuktikan bahwa moralku masih belum sehat. Ia menekanku lewat materi-materi hafalannya yang menjengkelkan untuk melaksanakan ujian open-book secara ilegal. Dan aku belum cukup kuat menahan tekanannya.

Oleh sebab konsistensi kesehatan moralku yang masih meragukan seperti itu, sebenarnya aku takut akan menjadi seorang munafik gara-gara tulisanku yang satu ini. Kupaparkan pada Anda hal-hal buruk yang mungkin terjadi akibat menyontek, tapi nyatanya aku sendiri masih belum mampu jauh dari aktivitas contek-menyontek. Apa tidak usah ku-publish saja tulisan ini? Agar tidak ada yang membacanya, agar hanya menjadi pengingat bagi diriku sendiri. Dengan begitu, aku menyontek atau tidak setelah adanya tulisan ini tidak akan ada pertanggungan-jawab sosialnya. Bagaimana menurutmu? Tidak usah di-publish ya? Tapi ini masalah yang sangat penting, berkaitan dengan nasib bangsa dan negara, publik harus tahu. Aduh, gimana ya enaknya? Ma’af, aku lagi galau.. © WaaLlahu’alam bishshawab

Bandung, 20 Desember 2011

2 comments:

budaya mencontek sebenarnya tidak menjadi suatu masalah, ketika ia mampu memodifikasinya sedemikian mungkin. Karena dari situlah muncul sebuah kreativitas tanpa batas. Yang menjadi permasalahan itu ialah ketika sesuatu yang ia contek ia lihat lekat-lekat, dan ia telan bulat-bulat. itulah yang menjadi kekhawatiran dan ke-kacau balau-an yang nantinya akan berdampak fatal terhadap anak didik kita nantinya. Maka tugas kita sebagai pendidik di lingkungan sekolah maupun lingkungan hidup adalah memutar otak bagaimana menumbuh-kembangkan kreativitas si anak agar jauh-jauh dari lingkungan mencontek bulat-bulat :)

Sebenarnya bukan masalah contek,, tapi bgaimana sebuah sistem di terapkan dalam sebuah pembelajaran. artinya ada sinergi antara guru dan siswa. ketika guru bagus dalam mengajar dan siswa memberikan respone postif,maka pembelajaran di katakan berhasil. dan takkan ada kata nyontek lagi ketika memang siswa sudah mengerti.

jadi jgan salah persepsikan prinsip tiru lalu modifikasi. bukan ranahnya di sni.hehe

Posting Komentar

Tinggalkan jejakmu di sini..

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More