09 Juni 2012

Gaga Gigi Gugu


Menjelang siang, sekitar pukul 10.37 WIB, seseorang datang bertamu ke rumah Gigi. Tamu itu tampak asing, meyakinkan Gigi bahwa Si Tamu bukanlah kenalannya. Selain wajah yang tidak dikenal Gigi, penampilan yang aneh juga memastikan bahwa Si Tamu bukan warga desanya. Tapi Gigi tetap menyambutnya dengan baik: dipersilakan masuk, diberi kursi, dihidangkan makanan, serta minuman agar tidak kehausan. Ditanya nama oleh Gigi, Si Tamu menjawab, “Gaga.”

Gaga itu wanita, padahal di dalam rumah Gigi sendiri ada lima pria, manusia semua. Tidak masalah, Gaga sekedar bertamu. Insya Allah aman. Lagipula semua pria di rumah Gigi itu bermoral, beradab dan sangat patuh agama. Itu terbukti, walaupun mereka anak band tapi pakaiannya sopan-sopan, dan lagu-lagu yang mereka bawakan saat manggung juga penuh pesan moral. Saat itu saja, dari salah satu kamar, sayup-sayup terdengar berturut-turut lagu qasidahan macam Perdamaian, Ada Anak Bertanya Pada Bapaknya, Sajadah Panjang, dll. Eh, padahal yang tinggal di situ tidak semuanya muslim lho, hebat ya?

Gaga dan Gigi banyak berbincang-bincang, yang dari situ diketahui bahwa Gaga adalah seorang biduanita. Katanya, “Saya ini penyanyi, Mas. Wajar kalo pakaian saya begini. Tidak umum dan agak sexy gitu ya, Mas?” Gigi tersenyum. Ya, cuma senyum yang bisa dikasih Gigi. Gaga melanjutkan, “Pakaian kayak gini ini juga kan bagian  dari seni, merupakan ekspresi jiwa pemakainya, penuh nilai-nilai kreativitas. Ini seni, dan saya artis. Wajar kan, Mas? Dalam seni kita bebas berekspresi ‘kan, Mas?” Gigi senyum lagi.

“Iya, Mbak...” Gigi melanjutkan senyumnya, “Mbak nyaman nggak berpakaian kaya gitu?” Gaga menjawab pendek, “Nyaman.” Gigi menambah pertanyaan, “Kira-kira orang lain, masyarakat, semua orang di sekitar Mbak, nyaman juga nggak ya?”

“Wah, mana saya tahu, Mas. Saya nggak peduli. Kalo nggak nyaman ya tinggal jangan dilihat,” jawaban Gaga. “Nggak bisa gitu dong, Mbak. Kan kita hidup bareng-bareng dalam masyarakat, jadi kebebasan kita itu dibatasi oleh kebebasan orang lain,” begitu menurut Gigi. “Banyak yang suka juga kok, Mas.” kata Gaga ngeyel.

“Ya, sudah.” sedikit kesal, Gigi ingin menghentikan perdebatan. Menurut Gigi, kalau itu diteruskan maka akan berkepanjangan. Arahnya akan menuju tema-tema: moral, etika, karakter bangsa, aturan agama, seni yang bermartabat, rupa-rupa. Bisa-bisa Gigi hilang kendali amarahnya lebih dulu. Masih menurut Gigi, katanya ekspresi jiwa itu muncul sesuai dengan bagaimana jiwa itu sendiri berkembang dan terbentuk. Sedangkan faktor yang membentuk jiwa itu tidak main-main: pendidikan (dalam arti luas), nilai-nilai yang diserap dari masyarakat, perenungan yang mendalam, dan lain-lain yang begitu-begitu itu lah. Kesemuanya memerlukan waktu lama, prosesnya panjang. Nasehat biasa, apalagi sambil marah-marah dan menunjukkan sikap penolakan, tidak akan membalik keadaan jiwanya. Kecuali Gigi diberi waktu beberapa hari mengawasi dan membimbing Gaga.

“Ngomong-ngomong angin apa yang membawa Mbak sampai ke rumah saya?” Gigi melanjutkan. “Gini, Mas... Saya mau minta dukungan. Mas dan teman-teman yang di sini juga penyanyi kan? Saya minta dukungan, mau konser di desa ini.” Gaga menjelaskan maksud kedatangannya.

“Waduh...” Gigi bingung, campur curiga, bukan su’udzon. Kira-kira konser musik macam apa yang bakal dibawakan oleh biduanita macam ini, begitu pikir Gigi. “Konser ya konser aja, Mbak. Tapi kalau masalah dukungan, ma’af nggak bisa, Mbak. Mendingan Mbak menghubungi kepala desa atau lurah di sini, minta izin saja dari mereka.”

“Itu dia, Mas. Buat mempermudah perizinan dari mereka, saya perlu dukungan dari Mas.” Gaga memohon. “Kami di sini bukan siapa-siapa, Mbak. Bukan orang yang punya pengaruh, sampai bisa mengubah keputusan pihak berwenang di sini. Tanpa dukungan kami, kalau memang konser Mbak tidak bermasalah, insya Allah diizinkan.” Gigi masih tidak bersedia.

“Oke, baiklah kalau begitu. Saya akan coba minta perizinan langsung ke kelurahan. Saya undur diri, Mas.” Gaga pamit. “Ya. Silakan, silakan.. Ma’af nggak bisa membantu banyak.” Gigi mempersilakan. “Nggak apa-apa, Mas. Terimakasih sudah meluangkan waktu.” Gaga melanjutkan. “Sama-sama.” jawab Gigi pendek. Setelah Gaga meninggalkan tempat, Gigi tampak senyum-senyum. Senyum yang tidak biasa.

***

Gigi memperlihatkan senyum itu lagi beberapa hari kemudian, saat melihat sekelompok orang di lapangan dekat rumahnya. Mereka seperti sedang mendirikan panggung, dan di sana ada Gaga juga tampak sedang mengawasi. Ternyata konser itu diizinkan.

Besoknya konser dimulai. Momen yang ditunggu Gigi akan segera bisa disaksikan, yang juga akan menjelaskan maksud senyum tak biasa itu. Musik sudah meraung-raung sejak tadi, suara Gaga juga jelas terdengar, tapi entah apa yang dia nyanyikan. Tidak paham. Di lain sisi, Gigi yang dari kemarin seperti merencakan sesuatu justru masih terlihat santai di ruang tamu rumahnya, membaca koran sambil ngopi.
Beberapa saat kopi habis, baru Gigi bergeming dari kursi, berjalan keluar. Gigi menuju lokasi konser, tiba, dan mengamati. Konsernya tidak jauh dari yang dibayangkan Gigi sebelumnya, hot! Ramai, banyak peminatnya juga konser musik seperti ini, pikir Gigi. Lalu Gigi pulang.

Sampai. Gigi masuk lagi ke rumah. “Hahahaha~!!” tahu-tahu meledak tawa Gigi. Empat temannya yang memang sama sekali tidak tertarik dengan konser musik di sebalah rumahnya berhamburan keluar dari kamar masing-masing. “Kalian harus malu!” Gigi teriak ke teman-temanya sambil masih terpingkal. “Kita harus malu!” Gigi teriak lagi. “Ulama di desa ini harus malu! Kaum beragama di desa ini harus malu!” masih belum jelas maksud teriakan Gigi ini. “Apa maksudmu?” salah-satu temannya bertanya.

“Diam-diam aku jadiin Gaga, cewek yang kemarin bertamu itu lho, sebagai sarana penelitianku.” suara Gigi menurun. “Konser musik yang dia adakan bisa jadi indikator yang cukup valid untuk mengukur sebijak apa warga desa, terutama muslimnya, dalam menghadapi “serangan” macam itu.” Gigi menjelaskan.

“Terus?” temannya masih bingung. “Menurut informasi yang aku peroleh, di desa lain Gaga itu tidak diizinkan mengadakan konser, ya mungkin karena begitu konsernya. Tapi aku senang waktu tahu ternyata dia justru diizinkan di sini.”

Loh, kok malah senang?” teman yang lain memotong. “Kepala desa di sini sepertinya paham betul mengenai undang-undang negara yang memang memberi kebebasan pada warganya untuk berekspresi.” Gigi melanjutkan. “Nah, sekarang Gaga itu sudah kuanggap jadi guru.”

“Apa lagi kau ini, Gi! Ada-ada saja!” temannya memotong lagi. Gigi melanjutkan lagi, “Tentu saja bukan guru yang patut untuk digugu dan ditiru. Seperti pepatah: pengalaman adalah guru terbaik, tentu pengalaman buruk bukan untuk diulang kan?”

“Maksudnya guru yang secara tidak langsung sudah ngasih aku pelajaran, memberi informasi yang sangat berharga. Bahwa kita harus banyak mengoreksi diri.”

“Terus?” jelas, kejelasan belum sampai pada temannya yang satu ini. “Kalau memang kita bangsa yang bermoral, beradab, menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, dan beragama, tentu tidak akan ada konser macam itu. Kalaupun ada, kita tidak akan menonton dan menikmatinya. Makanya kemarin aku mempersilakan Gaga itu mengadakan konsernya, tapi untuk mendukungnya, aku tidak mau. Sebab sebelumnya aku yakin konser itu bakal sepi, tidak akan ada penonton. Tapi aku salah besar! Kita seharusnya sudah mulai membenahi diri, dan tidak sibuk dengan apa yang ada di luar. Kita terus mencurigai kelompok-kelompok tertentu sedang menyerang kita. Bukannya segera memperkuat benteng pertahanan, kita malah sibuk mencari-cari keburukan mereka untuk kemudian dijadikan sumpah-serapah.” rupanya penjelasan Gigi terlalu pajang, teman-temannya sudah tidak ada yang mendengarkan.

Cirebon, 1 Juni 2012

0 comments:

Posting Komentar

Tinggalkan jejakmu di sini..

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More