Menjelang siang, sekitar
pukul 10.37 WIB, seseorang datang bertamu ke rumah Gigi. Tamu itu tampak asing,
meyakinkan Gigi bahwa Si Tamu bukanlah kenalannya. Selain wajah yang tidak
dikenal Gigi, penampilan yang aneh juga memastikan bahwa Si Tamu bukan warga
desanya. Tapi Gigi tetap menyambutnya dengan baik: dipersilakan masuk, diberi
kursi, dihidangkan makanan, serta minuman agar tidak kehausan. Ditanya nama
oleh Gigi, Si Tamu menjawab, “Gaga.”
Gaga itu wanita,
padahal di dalam rumah Gigi sendiri ada lima pria, manusia semua. Tidak
masalah, Gaga sekedar bertamu. Insya
Allah aman. Lagipula semua pria di rumah Gigi itu bermoral, beradab dan
sangat patuh agama. Itu terbukti, walaupun mereka anak band tapi pakaiannya sopan-sopan, dan lagu-lagu yang mereka bawakan
saat manggung juga penuh pesan moral. Saat itu saja, dari salah satu kamar, sayup-sayup
terdengar berturut-turut lagu qasidahan
macam Perdamaian, Ada Anak Bertanya Pada Bapaknya, Sajadah Panjang, dll. Eh, padahal yang tinggal di situ tidak
semuanya muslim lho, hebat ya?
Gaga dan Gigi banyak berbincang-bincang, yang dari situ diketahui bahwa Gaga
adalah seorang biduanita. Katanya, “Saya ini penyanyi, Mas. Wajar kalo pakaian
saya begini. Tidak umum dan agak sexy gitu ya, Mas?” Gigi tersenyum. Ya, cuma
senyum yang bisa dikasih Gigi. Gaga melanjutkan, “Pakaian kayak gini ini juga
kan bagian dari seni, merupakan ekspresi
jiwa pemakainya, penuh nilai-nilai kreativitas. Ini seni, dan saya artis. Wajar
kan, Mas? Dalam seni kita bebas berekspresi ‘kan, Mas?” Gigi senyum lagi.
“Iya, Mbak...” Gigi melanjutkan senyumnya, “Mbak nyaman nggak berpakaian
kaya gitu?” Gaga menjawab pendek, “Nyaman.” Gigi menambah pertanyaan,
“Kira-kira orang lain, masyarakat, semua orang di sekitar Mbak, nyaman juga
nggak ya?”
“Wah, mana saya tahu, Mas. Saya nggak peduli. Kalo nggak nyaman ya
tinggal jangan dilihat,” jawaban Gaga. “Nggak bisa gitu dong, Mbak. Kan kita
hidup bareng-bareng dalam masyarakat, jadi kebebasan kita itu dibatasi oleh
kebebasan orang lain,” begitu menurut Gigi. “Banyak yang suka juga kok, Mas.” kata
Gaga ngeyel.
“Ya, sudah.” sedikit kesal, Gigi ingin menghentikan perdebatan. Menurut
Gigi, kalau itu diteruskan maka akan berkepanjangan. Arahnya akan menuju
tema-tema: moral, etika, karakter bangsa, aturan agama, seni yang bermartabat,
rupa-rupa. Bisa-bisa Gigi hilang kendali amarahnya lebih dulu. Masih menurut Gigi,
katanya ekspresi jiwa itu muncul sesuai dengan bagaimana jiwa itu sendiri
berkembang dan terbentuk. Sedangkan faktor yang membentuk jiwa itu tidak
main-main: pendidikan (dalam arti luas), nilai-nilai yang diserap dari
masyarakat, perenungan yang mendalam, dan lain-lain yang begitu-begitu itu lah.
Kesemuanya memerlukan waktu lama, prosesnya panjang. Nasehat biasa, apalagi
sambil marah-marah dan menunjukkan sikap penolakan, tidak akan membalik keadaan
jiwanya. Kecuali Gigi diberi waktu beberapa hari mengawasi dan membimbing Gaga.
“Ngomong-ngomong angin apa yang membawa Mbak sampai ke rumah saya?” Gigi
melanjutkan. “Gini, Mas... Saya mau minta dukungan. Mas dan teman-teman yang di
sini juga penyanyi kan? Saya minta dukungan, mau konser di desa ini.” Gaga
menjelaskan maksud kedatangannya.
“Waduh...” Gigi bingung, campur curiga, bukan su’udzon. Kira-kira konser musik macam apa yang bakal dibawakan
oleh biduanita macam ini, begitu pikir Gigi. “Konser ya konser aja, Mbak. Tapi
kalau masalah dukungan, ma’af nggak bisa, Mbak. Mendingan Mbak menghubungi
kepala desa atau lurah di sini, minta izin saja dari mereka.”
“Itu dia, Mas. Buat mempermudah perizinan dari mereka, saya perlu
dukungan dari Mas.” Gaga memohon. “Kami di sini bukan siapa-siapa, Mbak. Bukan
orang yang punya pengaruh, sampai bisa mengubah keputusan pihak berwenang di
sini. Tanpa dukungan kami, kalau memang konser Mbak tidak bermasalah, insya
Allah diizinkan.” Gigi masih tidak bersedia.
“Oke, baiklah kalau begitu. Saya akan coba minta perizinan langsung ke
kelurahan. Saya undur diri, Mas.” Gaga pamit. “Ya. Silakan, silakan.. Ma’af
nggak bisa membantu banyak.” Gigi mempersilakan. “Nggak apa-apa, Mas.
Terimakasih sudah meluangkan waktu.” Gaga melanjutkan. “Sama-sama.” jawab Gigi
pendek. Setelah Gaga meninggalkan tempat, Gigi tampak senyum-senyum. Senyum
yang tidak biasa.
***
Gigi memperlihatkan senyum itu lagi beberapa hari kemudian, saat melihat
sekelompok orang di lapangan dekat rumahnya. Mereka seperti sedang mendirikan
panggung, dan di sana ada Gaga juga tampak sedang mengawasi. Ternyata konser
itu diizinkan.
Besoknya konser dimulai. Momen yang ditunggu Gigi akan segera bisa
disaksikan, yang juga akan menjelaskan maksud senyum tak biasa itu. Musik sudah
meraung-raung sejak tadi, suara Gaga juga jelas terdengar, tapi entah apa yang
dia nyanyikan. Tidak paham. Di lain sisi, Gigi yang dari kemarin seperti
merencakan sesuatu justru masih terlihat santai di ruang tamu rumahnya, membaca
koran sambil ngopi.
Beberapa saat kopi habis, baru Gigi bergeming dari kursi, berjalan
keluar. Gigi menuju lokasi konser, tiba, dan mengamati. Konsernya tidak jauh
dari yang dibayangkan Gigi sebelumnya, hot!
Ramai, banyak peminatnya juga konser musik seperti ini, pikir Gigi. Lalu
Gigi pulang.
Sampai. Gigi masuk lagi ke rumah. “Hahahaha~!!” tahu-tahu meledak tawa
Gigi. Empat temannya yang memang sama sekali tidak tertarik dengan konser musik
di sebalah rumahnya berhamburan keluar dari kamar masing-masing. “Kalian harus
malu!” Gigi teriak ke teman-temanya sambil masih terpingkal. “Kita harus malu!”
Gigi teriak lagi. “Ulama di desa ini harus malu! Kaum beragama di desa ini
harus malu!” masih belum jelas maksud teriakan Gigi ini. “Apa maksudmu?”
salah-satu temannya bertanya.
“Diam-diam aku jadiin Gaga, cewek
yang kemarin bertamu itu lho, sebagai
sarana penelitianku.” suara Gigi menurun. “Konser musik yang dia adakan bisa
jadi indikator yang cukup valid untuk mengukur sebijak apa warga desa, terutama
muslimnya, dalam menghadapi “serangan” macam itu.” Gigi menjelaskan.
“Terus?” temannya masih bingung. “Menurut informasi yang aku peroleh, di
desa lain Gaga itu tidak diizinkan mengadakan konser, ya mungkin karena begitu
konsernya. Tapi aku senang waktu tahu ternyata dia justru diizinkan di sini.”
“Loh, kok malah senang?” teman
yang lain memotong. “Kepala desa di sini sepertinya paham betul mengenai
undang-undang negara yang memang memberi kebebasan pada warganya untuk berekspresi.”
Gigi melanjutkan. “Nah, sekarang Gaga itu sudah kuanggap jadi guru.”
“Apa lagi kau ini, Gi! Ada-ada saja!” temannya memotong lagi. Gigi
melanjutkan lagi, “Tentu saja bukan guru yang patut untuk digugu dan ditiru. Seperti
pepatah: pengalaman adalah guru terbaik, tentu pengalaman buruk bukan untuk
diulang kan?”
“Maksudnya guru yang secara tidak langsung sudah ngasih aku pelajaran,
memberi informasi yang sangat berharga. Bahwa kita harus banyak mengoreksi
diri.”
“Terus?” jelas, kejelasan belum sampai pada temannya yang satu ini.
“Kalau memang kita bangsa yang bermoral, beradab, menjunjung tinggi nilai
kemanusiaan, dan beragama, tentu tidak akan ada konser macam itu. Kalaupun ada,
kita tidak akan menonton dan menikmatinya. Makanya kemarin aku mempersilakan
Gaga itu mengadakan konsernya, tapi untuk mendukungnya, aku tidak mau. Sebab
sebelumnya aku yakin konser itu bakal sepi, tidak akan ada penonton. Tapi aku
salah besar! Kita seharusnya sudah mulai membenahi diri, dan tidak sibuk dengan
apa yang ada di luar. Kita terus mencurigai kelompok-kelompok tertentu sedang
menyerang kita. Bukannya segera memperkuat benteng pertahanan, kita malah sibuk
mencari-cari keburukan mereka untuk kemudian dijadikan sumpah-serapah.” rupanya
penjelasan Gigi terlalu pajang, teman-temannya sudah tidak ada yang
mendengarkan.
Cirebon, 1 Juni 2012
0 comments:
Posting Komentar
Tinggalkan jejakmu di sini..