01 Januari 2012

Jangan Bercita-cita

Senang sekali menerima respon teman-teman saat melalui layanan pesan pendek kutanyai tentang cita-cita mereka sewaktu kecil dulu. Sekiranya itu akan membuat kenangan mereka kembali pada usia pra-sekolah, TK, sampai SD yang memang sedang sering-seringnya menerima pertanyaan macam itu. Orang tua, sanak-saudara, tetangga, guru, semua menanyakan apa cita-cita kita. Lingkungan menanamkan pada diri kita untuk harus, mesti, wajib memiliki cita-cita. Kita yang kesulitan menjawab pertanyaan ini langsung dianggap tidak akan menemukan masa depan yang cerah.

Padahal, setelah kupikir-pikir ternyata cita-cita itu tidak begitu penting. Seorang anak tidak harus memiliki cita-cita. Tidak perlu guru atau orang tua mewajibkan, atau bahkan sampai memaksa, anaknya punya cita-cita tinggi. Lah, Tuhan saja tidak mewajibkan kok! Misalnya saja dari dasar agama yang kuanut, Islam, tidak ada suruhan bercita-cita di sana. Yang ada itu tholabul ‘ilmi faridlotun ‘ala kulli muslimin walmuslimat, muslim cowok dan muslim cewek berkewajiban menuntut ilmu. Yang utama tentu ilmu yang wajib kita punyai, kemudian ilmu yang ingin kita ketahui, atau ilmu yang kita sukai, ilmu apa saja. Dari situ kita belajar, menemukan berbagai pengalaman.

Disertai kondisi-kondisi tertentu dan berbagai pengalaman inilah yang sebenarnya kemudian menciptakan cita-cita dengan sendirinya, tidak ada paksaan. Terbukti dari survei terhadap teman-teman yang aku adakan. Mayoritas cita-cita mereka berubah di setiap jenjang sekolah, berubah setelah menerima berbagai informasi dan pengalaman. Ada yang bercita-cita menjadi pilot, tapi karena melihat sering terjadinya kecelakaan pesawat cita-citanya ganti. Ada yang bercita-cita menjadi dokter anak, tapi karena ketemu fisika di SMP tidak sukalah ia pada IPA dan berubah cita-citanya. Ada yang ingin jadi pramugari, tapi karena mata minus gugurlah cita-citanya. Rupa-rupa. Artinya, cita-cita muncul setelah adanya proses menuntut ilmu, belajar, menerima berbagai informasi, dan macam-macam pengalaman.

Sampai di sinipun cita-cita masih kuanggap tidak begitu penting. Karena ujungnya menjadi apa kita kelak adalah ‘sekedar’ konsekuensi dari proses belajar kita. Lah, bukannya cita-cita itu tujuan ya? Bagaimana proses bisa berlangsung tanpa adanya tujuan?

Betul! Proses gak akan berlangsung sebelum dilengkapi dengan adanya tujuan. Tapi kurang tepat kalau dikatakan bahwa cita-cita adalah tujuan, sebab ini akan berbahaya. Tujuan kita berpacu dalam proses itu, menurutku, mestinya adalah sesuatu yang kita cintai. Terserah apa yang mau dicintai, pengalaman belajar akan menuntun kita untuk menemukan sesuatu yang benar untuk kita cintai, tidak akan menuju pada sesuatu yang buruk. Yang terpenting jangan berhenti belajar, tidak punya cita-cita bukan masalah.

Kalau kita menjadikan cita-cita sebagai tujuan belajar, tujuan aktivitas menuntut ilmu, tujuan sekolah kita, tujuan kita bekerja, maka inilah yang kucurigai sebagai pemicu banyaknya perilaku korup di negeri ini. Weits! Serem amat...

Setidaknya kita akan memiliki potensi bertindak korup terhadap diri kita sendiri, jika menjadikan cita-cita sebagai tujuan. Ini juga yang kudapat dari survei iseng-isengan itu. Banyak teman yang sekarang menempuh pendidikan di bidang yang di dalamnya ia tidak menemukan passion. Rela membunuh kesenangannya pada suatu bidang tertentu demi menjalani bidang lain yang dianggap bisa mengarahkannya pada cita-cita. Ya tidak usah jauh-jauh, aku sendiri contohnya, juga banyak aku temui teman lain di lapangan yang mengeluh “salah kamar” setelah menjalani perkuliahan dua-tiga semester. Di SMA dulu, sama, keluhan “salah kamar” juga sering terdengar. Itu semua demi mengejar cita-cita yang sebenarnya tidak wajib dimiliki.

Kemudian yang lebih buruk, hari ini banyak diantara kita yang ngotot, mati-matian, peras keringat-banting tulang hingga menghalalkan segala cara untuk mewujudkan cita-citanya. Karena bukan didasari cinta, pelajar malas belajar. Sudah malas belajar, maka tak mampu mengikuti pembelajaran, nyontek lah saat ujian ataupun saat mengerjakan tugas. Karena ingin cepat mencapai yang dicita-citakan, perilaku koruplah yang diperagakan oleh calon pegawai itu. Karena bercita-cita cepat sukses, perilaku koruplah yang diperankan oleh profesional-profesional itu. Karena bercita-cita cepat kaya, perilaku koruplah yang dimainkan oleh pengusaha-pengusaha itu. Pendidikan dan lingkungan yang mementingkan “cita-cita” daripada “proses (belajar)” membuat anak-anak tumbuh menjadi seperti itu saat dewasa. Maka kelak lebih baik anak-anakku jangan bercita-cita! Bercinta-cinta saja... :) © WaaLlahu’alam bishshawab


Bandung, 01 Januari 2012

2 comments:

ga ada yang salah dari bercita-cita.
lagipula persepsi tiap orang tentang apa itu cita-cita pasti berbeda.
beberapa orang bilang dengan mempunyai cita-cita justru hidup kita akan menjadi lebih semangat karena ada sesuatu yang dikejar.
sekarang tergantung apa yang kita kejar,yang tentu tidak hanya sekedar "profesi" semata. kalo hanya mengejar profesi saja tanpa menikmati prosesnya, saya setuju ini akan menyebabkan pribadi-pribadi korup. :)
lebih tepatnya, hati-hati dengan apa yang anda cita-citakan. seahli apapun kita dalam suatu bidang ilmu tertentu,ujung2nya kan jadi ahli kubur.. ;)

Menurut kamu sendiri, cita-cita 'tinggi' itu yang seperti apa?
Seorang yang terlahir di keluarga gelandangan miskin, terbelit utang sana-sini, akan merasa cita-cita jadi pegawai kantor yang digaji tiap bulan itu "tinggi". Bagi banyak orang lain, itu lumrah banget.
Orang yang tumbuh di desa terpencil tanpa puskesmas atau poliklinik mungkin menganggap profesi dokter itu "tinggi", "dahsyat", nyaris tak tersentuh. Cita-cita jadi dokter jadinya terasa tinggi. Bagi banyak orang lain, itu biasa saja.
Tidak ada larangan bercita-cita tinggi. Wah, justru bahaya kalau generasi muda Islam nggak punya cita-cita tinggi! Allah menyukai hal-hal mulia nan tinggi, dan membenci yang biasa-biasa saja (HR Thabroni).

Posting Komentar

Tinggalkan jejakmu di sini..

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More