18 September 2011

Cintaku Menggugat

Sudah lama aku mendambakan seseorang yang bisa setia menemaniku di setiap arus waktu yang kuarungi, baik di saat arus itu mengalirkan ujian kebahagiaan ataupun membawa cobaan kepedihan. Tentu ia haruslah yang terbaik, sempurna kalau bisa, agar bisa menutupi segala kekuranganku. Aku bodoh, maka ia harus cerdas. Aku pemarah, maka ia harus penyabar. Aku tak tampan, maka ia harus rupawan. Ia harus memiliki kelembutan jiwa untuk mematahkan kekakuanku. Ia harus dekat dengan Tuhan, agar bisa mengenalkanku pada-Nya. Dan yang terpenting ia harus rendah hati dan tidak sombong, agar bersedia menerima kekurangan-kekuranganku tadi.

Sampai suatu hari aku menemukannya. Kemudian selang sekian waktu mempertimbangkan berbagai hal serta menunggu waktu yang tepat, di sebuah taman aku memberanikan diri menyampaikan maksud hati yang sudah lama kupendam.

“Sudah lama sekali aku mencari seorang terbaik, dan kini telah kutemukan, dirimu. Aku mencintaimu, maukah kamu menjadi kekasihku?”

Aku yakin responnya akan positif, karena selama sekian waktu itu kami sudah sangat dekat. Tetapi sungguh mengejutkan, responnya meruntuhkan keyakinanku.

“Berarti aku tidak cocok untukmu.. Dan kata cintamu itu layak untuk diragukan, karena yang aku tahu cinta tidak seperti itu.”

“Loh? Kenapa?”

Kata-kata yang keluar dari mulutnya kemudian membuatku lemas.

“Kalau kau pindah dari tempatmu sekarang –tak perlu keluar kota– cukup ke lain kecamatan, kau akan temukan orang lain yang lebih baik. Dan dengan cara pandang seperti itu, aku pastikan kau bukanlah orang yang setia pada pasanganmu. Aku pulang, sampai jumpa..” Ia pergi.

Rasa penasaran yang hebat atas setiap kata yang ia ucapkan mengalahkan benih-benih kepedihan yang mungkin saja menjadi bakal patah hati atas tragedi penolakan cinta tersebut. Aku pun pulang dengan tertunduk. Sepanjang jalan hatiku terus bertanya-tanya, apa maksudnya bahwa cinta tidak seperti itu? Kenapa ia begitu yakin aku bukan orang yang setia?

Tak terasa sudah di depan rumah, langsung masuk kamar, lalu kulemparkan diri ke tempat tidur. Beberapa menit diam melamun menghadap langit-langit, perlahan mataku terpejam.

“Kau masih bingung, kawan? Kenapa kau tak tanyakan padaku?” tiba-tiba terdengar suara yang tak kukenal.

“Siapa kamu?” tanyaku, yang sepertinya masih dengan mata terpejam.

“Aku adalah sejenis Cinta yang ada dalam dirimu..”

“Apa maksudmu?” aku tak paham.

“Berhentilah menyalah-pahamiku. Sudah lama aku diam, kupikir kau akan berusaha memahamiku. Tapi sampai sekarang sama sekali aku tidak melihat satu bentuk usaha pun darimu. Aku bersabar menunggu, kalau tak mampu mencari paham sendiri aku berharap mungkin saja kau akan bertanya padaku langsung. Tapi mengecewakan, aku berada di dirimu saja kau tak tahu.”

“Hm?” aku semakin tak paham.

“Tidak ada lagi baik-jahat, cerdas-bodoh, rupawan-buruk rupa, ataupun sempurna-cacat jika kau benar-benar telah mengenalku. Pertimbangan-pertimbangan nilai seperti itu lenyap di hadapanku. Cinta ya cinta saja, tidak ada yang lain. Jika masih ada pertimbangan ini-itu, maka bukan cinta.”

Makhluk yang mengaku dirinya sejenis Cinta itu terus berbicara hal-hal yang sama sekali aku tak paham.

Ia melanjutkan, “Karenanya aku sendiri sering dibuat kesal oleh kaummu, yang seenaknya menyatakan cinta disertai pengagungan-pengagungan atas perasaan yang ia klaim sebagai cintanya tersebut. Misalnya ada diantara kalian yang menyombongkan diri bahwa cintanya cinta abadi, cinta yang tak akan punah oleh waktu. Kemudian yang lain lagi, memproklamirkan cintanya sebagai cinta yang mengandung kesetiaan total dalam keadaan suka ataupun duka. Dusta! Padahal seharusnya kalian berendah hati saja, mengakui dalam hati bahwa cinta kalian tidak ada yang seagung itu, cinta kalian terikat oleh kepentingan-kepentingan pribadi. Kalian yang menyatakan diri saling mencintai adalah akibat adanya kemanfaatan yang masing-masing kalian saling membutuhkan, jika manfaat atau rasa saling membutuhkan itu hilang, hilanglah pula cinta kalian. Setelah menyadari betapa lemahnya cintamu, seharusnya yang perlu kau lakukan kemudian hanyalah berusaha mewujudkan cinta tersebut semampumu, tak perlu ada proklamasi.”

“Dan yang terakhir wajib kau pahami,” ia menambahkan, “bahwa hanya Yang menciptakan cinta-lah Pemilik dan Pemberi Cinta Sejati. Kalian sama sekali tidak memiliki eksistensi di hadapan-Nya, lalu kenapa kalian begitu sombong?”

Sial, seenaknya saja makhluk itu banyak bicara, seolah-olah menggugat sesuatu dan memposisikanku sebagai pihak bersalah.

Belum sempat aku gugat balik, saat aku membukakan mata dan mulai terjaga ia sudah hilang. Padahal aku ingin membalikkan gugatannya dengan sebuah pertanyaan, “Kalau begitu, bukankah kau sendiri sombong dengan mengaku sebagai makhluk sejenis Cinta?”


Bandung, 18 September 2011

5 comments:

whaawww... bagus banget tulisannya. jadi introspeksi diri juga, selama ini aku sudah mencintai seperti itu kah? sepertinya belum,..

tapi biar bagaimanapun juga, semoga cinta sesama makhluk tidak mengalahkan cinta kita pada pencipta cinta itu sendiri.

salam kenal Amex :)

Keren... I Like...
Aku sepakat dengan gugatan cinta yang dilakukan oleh cinta. Dia bukan sombong, karena dia adalah cinta. Wajar memberontak, karena namanya dipermainkan oleh semua pihak. Bukan sombong, cinta hanya ingin menyadarkan kita.

Jadi bingung sapa yang menggugat.haha
Nice ;)

keren banget.. suka banget dech.. ;)

"Cinta ya cinta saja, tidak ada yang lain. Jika masih ada pertimbangan ini-itu, maka bukan cinta."

Dahsyat!
suka banget sama cerpennya..
:D

“bahwa hanya Yang menciptakan cinta-lah Pemilik dan Pemberi Cinta Sejati. Kalian sama sekali tidak memiliki eksistensi di hadapan-Nya, lalu kenapa kalian begitu sombong?”

Posting Komentar

Tinggalkan jejakmu di sini..

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More