22 Oktober 2011

Kambing di Kandang Ayam

Ayah-bunda tercinta, seperti batang tubuh yang ditinggalkan ruhnya adalah kondisi perkuliahanku saat ini. Kaku, aku kehilangan naluri berkembang dan tidak tumbuh, mati di ruang perkuliahan. Mungkin benar apa yang dijelaskan teori biologi bahwa spesies makhluk hidup tertentu punah akibat ketidak-cocokannya dengan lingkungan. Layaknya seekor kambing nyasar di kandang ayam, yang akan dijumpainya sehari-hari adalah dedak, sesuatu yang tidak bisa ia makan. Ia akan kelaparan dan mati perlahan di sana. Aku khawatir hal ini akan menimpaku.


Ayah-bunda yang kusayangi, ma’afkan aku, jika ini akan tampak seperti sebuah pengkhianatanku atas kepercayaan yang telah kalian berikan. Kalian sudah mendukung secara moriil-materiil perkuliahanku di tempat ini. Tempat yang dulu dengan keras kepala aku ingin memasukinya, tapi malah ingin keluar setelah itu semua berjalan cukup lama. Seolah aku menyia-nyiakan dukungan kalian selama dua tahun terkahir. Tapi percayalah, tidak pernah sedikitpun keinginan macam itu muncul di benakku.

Tenang saja, di luar masalah perkuliahan, sekarang aku merasa dalam kondisi terbaikku. Perasaan positif ini muncul dari kegiatan baru yang akhir-akhir ini sedang aku selami. Aku menemukan kegembiraan jiwa yang hebat saat menekuninya. Sejenis luapan rasa yang tidak kutemukan saat duduk di ruang kuliah mempelajari jurnal-jurnal keuangan. Semacam desiran rasa yang tidak kurasakan saat mengerjakan tugas membuat laporan keuangan. Aku mulai senang menulis, Ayah! Aku menyukainya, Bunda! Pernahkah terpikirkan oleh Ayah-Bunda kalau Ananda menjadi seorang penulis? Bukan akuntan.

Sudah ada beberapa tulisan hasil coretan tanganku, berupa puisi ataupun cerpen, serta lima sampai tujuh essay pendek. Ayah-bunda mau membaca salah satu tulisanku? Banyak teman yang sudah membaca tulisan-tulisanku, respon mereka sangat baik. Bahkan beberapa dari mereka memuji tulisanku, salah satunya ada yang ngomong, “Kamu lebih pantes jadi anak sastra dari pada jadi anak akuntansi..”

Untuk sesaat pujian tersebut terasa berlebihan, hingga aku mengabaikannya. Tapi, di kemudian hari tiba-tiba saja aku teringat kembali pujian itu dan diam-diam merenungkannya. Bagaimana kalau Ananda pindah saja ke jurusan sastra? Mungkin saja saat menjalani perkuliahan di sana aku bisa terus merasakan kegembiraan, tidak seperti perkuliahanku di akuntansi saat ini. Dengan begitu aku akan mampu mengembangkan diri, tumbuh segar, ruh kehidupan kembali merasukiku. Bagaimana menurut Ayah-Bunda? Baikkah itu untuk Ananda?
Bandung, 22 Oktober 2011
[tugas saat mengikuti Training Pers dan Jurnalistik Mahasiswa 2011]

1 comments:

jurusan sastra udah tutup mang.. ahihi

Posting Komentar

Tinggalkan jejakmu di sini..

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More