16 Desember 2012

Yang Tak Bernama


Menjelang siangnya ia tahu-tahu saja duduk, atau lebih tepat jongkok seperti kita yang sedang buang air besar, di kusen jendela sebuah kamar. Tangannya dikulaikan lemas ke depan ditopang lutut dengan pandangan menghadap keluar menyapu daun-daun, rumput-rumput, ilalang juga jemuran seprai yang semuanya hijau. Sekilas itu tampak sebagai usaha untuk menyiangi sampah-sampah di kepalanya, mengelap bola matanya yang kusam karena lelah.

Terang saja, sedari pagi ia berlama-lama duduk bersila memfokuskan mata ke layar kecil 13 inch. Layar yang menghubungkannya ke dunia ketiga, dunia antara, nyata dan ghaib. Masuk-keluar ke tiap-tiap ruang maya. Mulai dari jejaring sosial, forum-forum, halaman-halaman penyampai berita, blog-blog pribadi, sampaipun situs-situs penyedia konten dewasa ia sambangi.

Aneh, di jejaring sosial itu, facebook misalnya. List pertemanannya tak menunjukkan satupun nama seseorang, padahal sudah banyak orang yang ia add. Di twitter, tidak ada tweeps yang menjadi follower-nya, padahal daftar nama yang ia follow banyak sekali. Email miliknya itu, inbox-nya kosong melompong. Di banyak forum ia bicara banyak tentang banyak topik, tapi semuanya sekedar menjadi semacam monolog. Hampir tiap berita, tiap cerita dan tiap tulisan yang dibacanya ia komentari. Ya sama, tidak ada yang menanggapi. Di situs-situs penyedia konten dewasa, tetap, ia tidak menemukan siapapun atau apapun yang membuatnya terinteraksi.

Dunia maya yang bagi kita hiruk-pikuknya sudah menyamai kenyataan itu ternyata tidak menyisakan sedikit saja sudut untuknya. Maka berdirilah ia, terbangun, meninggalkan mesin kecil penghubung ke dunia maya itu. Kenyataan semacam itu tentu membuatnya sumpek, walaupun kamar yang ia tempati itu cukup nyaman. Kamar yang sebenarnya tidak luas, tapi bersih, dan hal-hal yang ada di dalamnya tertata rapih-rapih.

Sekarang ia masih nongkrong di jendela, wajahnya mulai segar. Entah karena apa, ia justru menambahkan senyum di sana, menjadi tampak tenang. Tetapi sesaat kemudian ia melompat kecil, ke arah luar. Mondar-mandir sebentar di depan jendela kamarnya itu, lalu melangkah pelan-pelan sambil tetap membawa wajah damainya. Kemungkinan tak akan jauh, sebab tanpa alas kaki. Sepertinya tak akan lama, sebab tanpa persiapan.

Ternyata lain, ia sudah jauh tak terlihat lagi, sudah lama kok tak kunjung kembali? Berhari-hari, satu-tiga minggu, hingga menjadi hitungan bulan. Lama.

***

Kamar yang ditinggalkannya kini ramai oleh hal remeh-temeh duniawi. Dindingnya ditempeli poster-poster artis dan pemain sepakbola. Di meja berjejer bingkai-bingkai foto seorang wanita, berbarengan dengan ceceran uang recehan koin ataupun kertas. Ada juga beberapa piala, medali, dan piagam-piagam penghargaan. Lantainya berserakan bukti-bukti transaksi jual-beli yang menjadi satu dengan macam-macam kertas penuh coretan tangan. Kasur posisinya miring, tanpa dipan, dengan selimut-bantal yang tata letaknya acak, berantakan. Di pojok ruangan sekecil itu, seperangkat speaker aktif meraung-raung, menyampaikan suara seorang vocalist salah satu band rock terkenal. Hingar-bingar. Tidak jelas siapa penghuni baru kamar itu.

Melihat pemandangan itu, justru aku yang gelisah. Tiba-tiba muncul rasa ingin mencari ia yang sudah terlalu lama meninggalkan kamar tersebut. Maka, kucari ia! Kususuri setiap cabang jalan, kumasuki lorong-lorong. Kucari di ruang-ruang publik. Mulai dari swalayan, pasar tradisional, restoran, taman bermain, sekolah, hingga tempat-tempat peribadatan. Nihil. Pencarianku terbatas hanya pada bagaimana kemampuan mata menangkap sosoknya. Ingin sekali aku menanyakan pada setiap orang yang kutemui sambil menunjukkan fotonya, tapi tidak bisa. Ingin sekali kubarengi usaha peencarian itu sambil berteriak-teriak memanggilnya, tapi tidak bisa. Sebab wajahnya tak pernah terdokumentasikan, sebab ia tak bernama. © 2012

O, engkau yang sejatinya tak bernama!
Ma’afkan aku yang semena-mena
dengan menyematkan padamu sebuah nama

Sepi, begitu aku menamaimu...
Pasti kau tak suka. Aku tahu.

Kemanakah engkau kini?
Tidak kutemukan di sana, pun di sini

Aku rindu
O, wahai engkau Sang Sepi!
Kemari...
Kembali...

Percuma!
Memanggilmu dengan nama
adalah kebodohan belaka..
Aku tahu.

Bandung, 16 Desember 2012

07 Desember 2012

Sandi Instruksi Sang Komandan



Pasti ada yang nggak bener sama Minggu, 2 Desember 2012. Pagi itu, untuk beberapa detik sepertinya putaran sistem alam raya sedikit nggak stabil, atau mungkin struktur sosio-kultural masyarakat dunia lagi terganggu, atau bisa juga susunan tata aturan komunikasi antar manusia mengalami pergeseran. Padahal mataharinya masih terbit dari timur, sungai masih ngalir airnya, dedaunan basah berembun normal. Mamang tukang bubur tetap mangkal depan rumah sambil mukulin piring dengan sendok kayak hari-hari sebelumnya, pembelinya masih bayar pake uang, uangnya ya gitu-gitu aja. Bapak saya nelpon juga pake nomer yang biasanya, nggak sampe lewat telepon umum gara-gara takut disadap intelijen, yang ditanyain klasik: kabar, sarapan dan perkuliahan. Cuma mulai beda di bagian akhir, sekarang daftar pertanyaan beliau nambah, “Bisnis lancar?” | Assik! :)

“Sekien lagi rada sepi..” | “Sekarang sedang agak sepi..”

“Ai Gugun kah jare due usaha juga, wis berkembang jeh ya?” | “Kalo Gugun itu katanya punya usaha juga, udah berkembang ya?”

Gugun ini temen SMA saya yang suka dagang, dan kuliahnya programing.

“Iya, Gugun sih wis pinter dagang.” | “Iya, Gugun sih sudah pandai berdagang.”

Terus kami jadi ngobrolin usaha Si Gugun.

“Iku Gugun kuh usaha bareng demenane ya?” | “Itu Gugun tuh usaha bareng pacarnya ya?”

“Iya.” Jawab saya pendek.

“Adi kelas e? Boco SMA 1 juga?” | “Adik kelasnya? Anak SMA 1 juga?”

“Iya. Lha, Papah weru sing ndi?” | “ Iya. Lha, Papah tahu dari mana?” saya sedikit kaget.

Beliau malah tertawa.

“Ya iro ge mono, lamun pengen pandang-pandeng ya adi kelas tho, A’?” | “Ya kamu juga situ, kalo pengen nyari-nyari ya yang adik kelas, A’?”

Nah! Ini! Ini yang membuat saya yakin bahwa hari itu dunia lagi nggak beres. Bapak saya itu bukan tipe orang yang sewajarnya ngomong kayak gitu. Waktu dulu, saya usia SMA, pernah ada temen SD yang main ke rumah bawa ceweknya (pacar). Sepulangnya itu temen, beliau ngomong ke saya, “Bilangin ke temenmu, kalo main ke sini lagi nggak usah bawa-bawa pacarnya.” Dan saya yakin, ke kakak saya yang cowok, yang statusnya belum nikah pun beliau belum pernah ngomongin hal-hal beginian.

“Apa sih...” saya cuma bisa ngerespon gini sambil mengernyitkan dahi dan senyum bingung.

“Ta iro wis due sing seangkatan?” | “Atau kamu udah punya yang seangkatan?” tanya Bapak saya lebih lanjut, dan sedikit terdengar ibu saya cekikikan. Wah! Aneh... Ini bener-bener ada yang nggak bener.

“Yo sing seangkatan ge blipapo, A’” | “Ya yang seangkatan juga nggak apa-apa, A’” Bapak saya nambahin.

“....................” saya diam. Pembicaraan dilanjutkan dengan topik lain.

Setelah telepon ditutup, masih ada yang membuat saya yakin kalau hari itu dunia sedang nggak stabil. Beberapa menit kemudian datang kakak kelas saya di SMA, dia berkunjung karena ada kakak kelas saya yang lain. Kakak kelas saya yang lain itu maksudnya dia yang dari UI, Jakarta, sedang iseng-iseng silaturahim. Melepas kepenatan di tengah proses penulisan skripsi mungkin ^^v | Sial! Obrolan mereka nggak jauh-jauh dari masalah wanita dan pernikahan. Lama mereka ngobrol, saya cukup menyimak saja :) Sampai pun pada malam harinya, kok bisa dua puluh dua baris di time-line twitter membicarakan masalah pernikahan? Itu 22 baris dari beberapa orang yang berbeda! Apa-apaan?!

Oh, kenapa kalian begitu banyak menjejali saya dengan masalah yang saya belum mampu meni’matinya? :) Kalem.


Bandung, 06 Desember 2012

09 Juni 2012

Ini Juga Kangen

Aku kangen. Bagaimana kok kangen ini tahu-tahu nongol? Nongol lagi, padahal sudah lama tidak. Kangen ini, perasaan yang sebenarnya tidak nyaman dan mengganggu stabilitas diri. Ingin kusingkirkan, ingin menghilangkannya. Kalau bisa selamanya. Tapi ya gitu, kadang-kadang masih saja datang, mungkin karena diam-diam bagian diriku yang lain suka meni’matinya.

Kangenku kali ini tertuju pada “siapa” atau “apa”, mulai tidak begitu jelas. “Siapa” yang kumaksudkan di situ adalah fisik, jasad, wujud daging seseorang. Sedangkan “apa” lebih luas, bisa bersifat fisik ataupun metafisik. Jadi, pada “siapa” bisa terdapat “apa”. Nah, “apa” yang kemungkinan aku kangenin adalah “apa” yang terdapat pada “siapa” itu, dan sifatnya metafisik. Nggak jelas ya?

Aku jelaskan, bahwa yang mulai tidak begitu jelas sekarang adalah bukan pada-siapa-aku-kangen. Bukan juga pada apa-yang-aku-kangenin. Yang aku tidak paham adalah dengan mudah aku bisa melihat, menemui, dan menyapa tapi aku tetap merasakan kangennya. Padahal katanya penyebab kangen adalah karena sudah biasa bareng, kemudian berpisah, hingga terlalu lama tidak bertemu dan berkomunikasi.

Alasan tersebut akan lebih tidak bisa dipahami jika dihadapkan pada kenyataan bahwa ada seseorang bisa kangen pada orang lain atau apapun yang belum pernah ia temui. Kangen pada Nabi Muhammad saw. misalnya. Ia hidup jauh dari masa kehidupan Rasul, tidak pernah melihat “siapa” Rasul. Ia hanya tahu “apa” yang ada pada Rasul.

Karena itulah aku mulai ragu. Jangan-jangan aku tidak lagi kangen pada “siapa”, melainkan pada “apa”-nya? Kalau sudah begitu, kan jadi masalah! Bagaimana aku bisa mengobati kangen ini?

Tapi ada kabar menyenangkan berdasarkan masalah tersebut, bahwa kangen yang hebat memang dicapai saat kita benar-benar tidak mampu lagi menemukan media untuk menuntaskannya. Tidak ada twitter untuk nge-mention, tidak tersedia facebook untuk nge-wall, apalagi skype untuk video calling. Pun layanan telepon, e-mail, chat, BBM, SMS atau lainnya, tidak ada yang bisa digunakan. Namun, dalam ketidak-berdayaan tersebut, mereka yang saling kangen diam-diam mendo’akan satu sama lain. Hingga secara otomatis terbentuk cinta segitiga antara mereka dan Tuhannya. Itulah titik puncak kangen.

Maka kemungkinan benarlah kata beberapa teman, penyebab kangen itu sebenarnya cuma satu: cinta/kasih sayang. Serta kataku, jarak yang memisahkan sepasang kekasih itu cuma pantas diisi oleh dua: kepercayaan dan kesetiaan. Aku tidak tahu dua kalimat terakhir ini nyambung atau nggak dengan paragraf di atasnya, cuma pengen nulis itu sebagai penutup aja.

Aduh! Nambah nggak jelas ya? Ya sudah, emang gitu. Sengaja.


Cirebon, 08 Juni 2012
NB: Eh, ada yang ketinggalan. Kok malah jadi bingung sendiri gini, ngomong-ngomong yang hidup itu “siapa” atau “apa” ya?

Gaga Gigi Gugu


Menjelang siang, sekitar pukul 10.37 WIB, seseorang datang bertamu ke rumah Gigi. Tamu itu tampak asing, meyakinkan Gigi bahwa Si Tamu bukanlah kenalannya. Selain wajah yang tidak dikenal Gigi, penampilan yang aneh juga memastikan bahwa Si Tamu bukan warga desanya. Tapi Gigi tetap menyambutnya dengan baik: dipersilakan masuk, diberi kursi, dihidangkan makanan, serta minuman agar tidak kehausan. Ditanya nama oleh Gigi, Si Tamu menjawab, “Gaga.”

Gaga itu wanita, padahal di dalam rumah Gigi sendiri ada lima pria, manusia semua. Tidak masalah, Gaga sekedar bertamu. Insya Allah aman. Lagipula semua pria di rumah Gigi itu bermoral, beradab dan sangat patuh agama. Itu terbukti, walaupun mereka anak band tapi pakaiannya sopan-sopan, dan lagu-lagu yang mereka bawakan saat manggung juga penuh pesan moral. Saat itu saja, dari salah satu kamar, sayup-sayup terdengar berturut-turut lagu qasidahan macam Perdamaian, Ada Anak Bertanya Pada Bapaknya, Sajadah Panjang, dll. Eh, padahal yang tinggal di situ tidak semuanya muslim lho, hebat ya?

Gaga dan Gigi banyak berbincang-bincang, yang dari situ diketahui bahwa Gaga adalah seorang biduanita. Katanya, “Saya ini penyanyi, Mas. Wajar kalo pakaian saya begini. Tidak umum dan agak sexy gitu ya, Mas?” Gigi tersenyum. Ya, cuma senyum yang bisa dikasih Gigi. Gaga melanjutkan, “Pakaian kayak gini ini juga kan bagian  dari seni, merupakan ekspresi jiwa pemakainya, penuh nilai-nilai kreativitas. Ini seni, dan saya artis. Wajar kan, Mas? Dalam seni kita bebas berekspresi ‘kan, Mas?” Gigi senyum lagi.

“Iya, Mbak...” Gigi melanjutkan senyumnya, “Mbak nyaman nggak berpakaian kaya gitu?” Gaga menjawab pendek, “Nyaman.” Gigi menambah pertanyaan, “Kira-kira orang lain, masyarakat, semua orang di sekitar Mbak, nyaman juga nggak ya?”

“Wah, mana saya tahu, Mas. Saya nggak peduli. Kalo nggak nyaman ya tinggal jangan dilihat,” jawaban Gaga. “Nggak bisa gitu dong, Mbak. Kan kita hidup bareng-bareng dalam masyarakat, jadi kebebasan kita itu dibatasi oleh kebebasan orang lain,” begitu menurut Gigi. “Banyak yang suka juga kok, Mas.” kata Gaga ngeyel.

“Ya, sudah.” sedikit kesal, Gigi ingin menghentikan perdebatan. Menurut Gigi, kalau itu diteruskan maka akan berkepanjangan. Arahnya akan menuju tema-tema: moral, etika, karakter bangsa, aturan agama, seni yang bermartabat, rupa-rupa. Bisa-bisa Gigi hilang kendali amarahnya lebih dulu. Masih menurut Gigi, katanya ekspresi jiwa itu muncul sesuai dengan bagaimana jiwa itu sendiri berkembang dan terbentuk. Sedangkan faktor yang membentuk jiwa itu tidak main-main: pendidikan (dalam arti luas), nilai-nilai yang diserap dari masyarakat, perenungan yang mendalam, dan lain-lain yang begitu-begitu itu lah. Kesemuanya memerlukan waktu lama, prosesnya panjang. Nasehat biasa, apalagi sambil marah-marah dan menunjukkan sikap penolakan, tidak akan membalik keadaan jiwanya. Kecuali Gigi diberi waktu beberapa hari mengawasi dan membimbing Gaga.

“Ngomong-ngomong angin apa yang membawa Mbak sampai ke rumah saya?” Gigi melanjutkan. “Gini, Mas... Saya mau minta dukungan. Mas dan teman-teman yang di sini juga penyanyi kan? Saya minta dukungan, mau konser di desa ini.” Gaga menjelaskan maksud kedatangannya.

“Waduh...” Gigi bingung, campur curiga, bukan su’udzon. Kira-kira konser musik macam apa yang bakal dibawakan oleh biduanita macam ini, begitu pikir Gigi. “Konser ya konser aja, Mbak. Tapi kalau masalah dukungan, ma’af nggak bisa, Mbak. Mendingan Mbak menghubungi kepala desa atau lurah di sini, minta izin saja dari mereka.”

“Itu dia, Mas. Buat mempermudah perizinan dari mereka, saya perlu dukungan dari Mas.” Gaga memohon. “Kami di sini bukan siapa-siapa, Mbak. Bukan orang yang punya pengaruh, sampai bisa mengubah keputusan pihak berwenang di sini. Tanpa dukungan kami, kalau memang konser Mbak tidak bermasalah, insya Allah diizinkan.” Gigi masih tidak bersedia.

“Oke, baiklah kalau begitu. Saya akan coba minta perizinan langsung ke kelurahan. Saya undur diri, Mas.” Gaga pamit. “Ya. Silakan, silakan.. Ma’af nggak bisa membantu banyak.” Gigi mempersilakan. “Nggak apa-apa, Mas. Terimakasih sudah meluangkan waktu.” Gaga melanjutkan. “Sama-sama.” jawab Gigi pendek. Setelah Gaga meninggalkan tempat, Gigi tampak senyum-senyum. Senyum yang tidak biasa.

***

Gigi memperlihatkan senyum itu lagi beberapa hari kemudian, saat melihat sekelompok orang di lapangan dekat rumahnya. Mereka seperti sedang mendirikan panggung, dan di sana ada Gaga juga tampak sedang mengawasi. Ternyata konser itu diizinkan.

Besoknya konser dimulai. Momen yang ditunggu Gigi akan segera bisa disaksikan, yang juga akan menjelaskan maksud senyum tak biasa itu. Musik sudah meraung-raung sejak tadi, suara Gaga juga jelas terdengar, tapi entah apa yang dia nyanyikan. Tidak paham. Di lain sisi, Gigi yang dari kemarin seperti merencakan sesuatu justru masih terlihat santai di ruang tamu rumahnya, membaca koran sambil ngopi.
Beberapa saat kopi habis, baru Gigi bergeming dari kursi, berjalan keluar. Gigi menuju lokasi konser, tiba, dan mengamati. Konsernya tidak jauh dari yang dibayangkan Gigi sebelumnya, hot! Ramai, banyak peminatnya juga konser musik seperti ini, pikir Gigi. Lalu Gigi pulang.

Sampai. Gigi masuk lagi ke rumah. “Hahahaha~!!” tahu-tahu meledak tawa Gigi. Empat temannya yang memang sama sekali tidak tertarik dengan konser musik di sebalah rumahnya berhamburan keluar dari kamar masing-masing. “Kalian harus malu!” Gigi teriak ke teman-temanya sambil masih terpingkal. “Kita harus malu!” Gigi teriak lagi. “Ulama di desa ini harus malu! Kaum beragama di desa ini harus malu!” masih belum jelas maksud teriakan Gigi ini. “Apa maksudmu?” salah-satu temannya bertanya.

“Diam-diam aku jadiin Gaga, cewek yang kemarin bertamu itu lho, sebagai sarana penelitianku.” suara Gigi menurun. “Konser musik yang dia adakan bisa jadi indikator yang cukup valid untuk mengukur sebijak apa warga desa, terutama muslimnya, dalam menghadapi “serangan” macam itu.” Gigi menjelaskan.

“Terus?” temannya masih bingung. “Menurut informasi yang aku peroleh, di desa lain Gaga itu tidak diizinkan mengadakan konser, ya mungkin karena begitu konsernya. Tapi aku senang waktu tahu ternyata dia justru diizinkan di sini.”

Loh, kok malah senang?” teman yang lain memotong. “Kepala desa di sini sepertinya paham betul mengenai undang-undang negara yang memang memberi kebebasan pada warganya untuk berekspresi.” Gigi melanjutkan. “Nah, sekarang Gaga itu sudah kuanggap jadi guru.”

“Apa lagi kau ini, Gi! Ada-ada saja!” temannya memotong lagi. Gigi melanjutkan lagi, “Tentu saja bukan guru yang patut untuk digugu dan ditiru. Seperti pepatah: pengalaman adalah guru terbaik, tentu pengalaman buruk bukan untuk diulang kan?”

“Maksudnya guru yang secara tidak langsung sudah ngasih aku pelajaran, memberi informasi yang sangat berharga. Bahwa kita harus banyak mengoreksi diri.”

“Terus?” jelas, kejelasan belum sampai pada temannya yang satu ini. “Kalau memang kita bangsa yang bermoral, beradab, menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, dan beragama, tentu tidak akan ada konser macam itu. Kalaupun ada, kita tidak akan menonton dan menikmatinya. Makanya kemarin aku mempersilakan Gaga itu mengadakan konsernya, tapi untuk mendukungnya, aku tidak mau. Sebab sebelumnya aku yakin konser itu bakal sepi, tidak akan ada penonton. Tapi aku salah besar! Kita seharusnya sudah mulai membenahi diri, dan tidak sibuk dengan apa yang ada di luar. Kita terus mencurigai kelompok-kelompok tertentu sedang menyerang kita. Bukannya segera memperkuat benteng pertahanan, kita malah sibuk mencari-cari keburukan mereka untuk kemudian dijadikan sumpah-serapah.” rupanya penjelasan Gigi terlalu pajang, teman-temannya sudah tidak ada yang mendengarkan.

Cirebon, 1 Juni 2012

06 April 2012

Mengejar Sisi Terang Langit

Di sini memang sedang gelap
Cahya yang kau mau ditutup oleh hitam
Di sini memang tampak seram dan suram
Tapi tunggulah sebentar
Akan tiba butiran bening yang segar
Tunggulah saja, sabar
Jangan dulu mengejar
sisi terang langit yang sangar
Apa?
Kau tak tahu di sana sangat membakar?
Iya, di sini saja sabar.

Cianjur, 06 April 2012

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More